Super Kawaii Cute Cat Kaoani

Senin, 29 Mei 2017

responding paper suku Trunyan

A.    Asal-usul Suku Trunyan (Bali Aga).
Trunyan berasal dari kata Taru Menyan, Taru yang berarti pohon dan Menyan berarti wangi atau harum yang sekarang ini menjadi pohon besar yang menjadi perkuburan adat masyarakat Trunyan. Pohon ini dipercaya mempunyai wangi yang semerbab yang membuat jenazah-jenazah yang diletakkan di sekitar pohon tersebut tidak mengeluarkan bau menyengat. Semuai itu dimulai dari kisah dahulu di kerajaan Surakarta di pulau jawa, tercium bau harum yang berhasil menarik perhatian dari 4 bersudara, pangeran dan putri kerajaan Surakarta. Bau harum tersebut telah berhasil menarik perhatian 4 bersaudara tersebut untuk memutuskan pergi mengembara, mereka terdiri dari 3 orang pangeran dan 1 orang putri.
Menurut penelitian oleh Jemes D, untuk mengetahui sejarah Desa Trunyan sulit sekali. Semua itu disebabkan karena peninggalannya berupa tulisan yang hanya berupa beberapa prasasti, yang kini disimpan di pelinggih (bangunan suci tempat persemayaman dewa). Desa Trunyan, Kedisan, dan desa Abang Dukuh ketiga desa ini terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupateng Bungli Provinsi Bali. Terkait dengan tiga desa tersebut karena mempunyai cerita yang runtut dalam pembentukannya, yang di ceritakan dari pengembaraan empat orang putra Raja Surakarta ke Bali untuk mencari bau harum yang menyengat. Namun disini akan lebih dijelaskan bagaimana desa Trunyan di Provinsi Bali tersebut.
Masyarakat Bali Aga adalah kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan merupakan masyarakat yang sulit ditundukkan pada saat Kerajaan Majapahit menguasai Bali. Kesulitan Majapahit dalam menundukkan Bali karena mendapat perlawanan dari masyarakat Bali Aga yang dapat dirasakan oleh Raja Sri Kresna Kapakisan, yang ditempatkan oleh Gajah Mada untuk memerintah di Bali.


B.     Mite, Adat Kebudayaan dan Ritual
1.  Mite Tentang Dewi yang Turun Dari Langit.
Dahulu ada seorang Dewi yang terpesona oleh bau harum, yang datang dari suatumtempat dibumi, telah turun dari langit untuk mencari sumber bau harum itu. Setelah mencari-cari beberapa waktu lamanya, akhirnya ia tiba ditemp[at bau harum itu berasal. Bau harum tersebut, ternyata keluar dari pohon Taru Menyan (pohon Menyan/benzoin). Sejak itu, tempat itu dinamakan Trunyan, yang berasal dari kata  taru dan menyan
2.  Adat Kebudayaan di suku Trunyan
Berikut data yang dapat kami paparkan tentang beberapa adat kebudayaan yang terdapat di suku Trunyan. Sebagai berikut:
a.       Arsitek Adat Desa Trunyan
Letak Desa Trunyan berada di seblah timur danau Batur, maka orientasi masa-masa bangunannya mengarah ke danau juga. Dalam filosofi bangunan Bali Aga, bangunannya mengarah ke dataran rendah, dalam hal ini adalah danau itu sendiri, sedangkan belakangnya berupa pegunungan. Pola desanya berbentuk grid karena bangunannya kearah danau, sehingga disepanjang pesisir bangunannya menghadap ke arah danau.
Untuk arsitek yang berada di Desa Trunyan sangat berbeda dengan arsitektur-arsitektur ditempat lain. Jika ditempat lain dalam satu pekarangan hanya terdapat satu kepala keluarga akan tetapi berbeda dengan desa Trunyan dimana di dalam satu pekarangan terdapat banyak kepala keluarga dimana dalam satu kepala keluarga memiliki satu bangunan atau rumah dalam satu pekarangan tersebut. Rumah tersebut dinamai bale saka roras, dimana dalam satu bangunan terdapat beberapa ruangan yang disesuaikan dengan pembagian dari saka-saka tersebut.
Di dalam ruang tersebut semua kegiatan dilakukan di dalam ruangan. Mulai dari memasak, makan dan tidur serta berkumpul dengan keluarga
 Desa Trunyan itu di dalam satu pekarangan terdapat banyak kepala keluarga dimana dalam satu kepala keluarga memiliki satu bangunan atau rumah dalam satu pekarangan tersebut. Rumah tersebut dinamai bale saka roras, dimana dalam satu bangunan terdapat beberapa ruangan yang disesuaikan dengan pembagian dari saka-saka tersebut. Di dalam ruang tersebut semua kegiatan dilakukan di dalam ruangan. Mulai dari memasak, makan dan tidur serta berkumpul dengan keluarga.
Desa Trunyan memiliki pemakaman yang unik, yang berbeda dengan Bali pada umumnya, yang dikenal dengan Ngaben. Namun, ini berbeda halnya dengan suku Trunyan. Orang yang meninggal bukan dibakar atau dimakamkan, melainkan dibiarkan membusuk ditanah membentuk cekungan panjang.
Ø   Pementasan Barong Brutuk
Wajah barongnya menggunakan  seperti topeng primitive, dipakaikan kepada seorang remaja dengan pakaian dari daun pisang kering. Tokoh pada Barong Brutuk seseorang berfungsi sebagai raja, kemudian ratu, kakak sang ratu dan patih, selebihnya menjadi anggota biasa (unen-unen), dipentaskan pada siang hari, tepat saat mulai odalan di Pura Pancering Jagat , upacara odalan tersebut biasannya selama tiga hari berturut-turut. Dalam ritual desa Trunyan yang membedakan dengan ritual suku-suku yang ada di Bali hanya dilihat dari bentuk pemakamannya. Umumnya dikubur atau dengan Ngaben tapi di Trunyan hanya diletakkan di bawah pohon saja.


C.    Religi, Tempat dan Upacara Keagamaan
Religi orang Trunya adalah suatu variant, atau salah satu versi yang berbeda dari agama Hindu Bali, yang dapat disebut sebagai agama Hindhu Bali Trunyan, yang selanjutnya merupakan sebagian dari agama Hindhu Dharma, yang telah diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.
Agama Hindhu Trunyan dapat disebut sebagai Variant (versi berbeda) dari Agama Hindhu Bali, karena agama tersebut pada dasarnya jika dibandingkan dengan Agama Hindhu bali, masih banyak berlandaskan kepada kepercayaan yang berdasarkan kepada pemujaan Roh leluhur. Liturgy Hindhu Bali misalnya dipergunakan disana bukan untuk memuja dewa-dewa Hindhu, yang berasal dari India seperti Siwa, Wisnu, dan Brahma, melainkan untuk Dewa-dewa pribumi Trunyan, yang asalnya adalah leluhur mereka sendiri, seperti Ratu Sakti Pancering Jagat., permaisurinya selirnya, pendetanya, para menterinya, panglima perangnya, dan anak-anaknya.
Ø  Upacara Keagaman Di Trunyan
Upacara keagamaan di Trunyan dapat dibagi menjadi lima jenis:
1)      Dewa Yadnya. Biasa disebut dengan Odalan, yang bertujuan untuk mengambil hati dewa yang diupacarakan. hampir stiap bulan  ada upacara ini. Salah satunya adalah upacara Saba Gede yang dilakukan pada saat Tilem Kesanga dan Odalan Ratu Pingit Dalem pada saat purnama Sadha.
2)       Pitra Yadnya. Upacara yang dilakukan untuk para leluhur dan para kerabat, juga apabila an.
3)       Resi Yadnya, upacara yang dilakukan untuk pentahbisan pendeta
4)      Buta Yadnya, upacara yang dilakukan untuk para buta kala, biasa juga disebut dengan Mecaru
5)      Manusia Yadnya, upacara yang dilakukan untuk manusia yang masih hidup. Misalnya upacara ulang tahun otonan yang berlangsung enam bulan sekali.
Dalam kebudayaan orang Trunyan, jika seseoran tidak dalam keadaan sebel maka bisa dikatakan bahwa upacara-upacara yang rutin akan dilakukan setiap lima belas hari sekali. Dari  kelima jenis upacara diatas hanya upacara Odalan, Mecaru dan Otonan yang dapat dikatakan sebagai upacara rutin.
Hindu Trunyan tidak memiliki hari raya yang sama dengan Hindu di Bali pada umumnya. Hari-hari raya seperti galangan, kunigan, ciwartri, saraswatri, dan pagerwesi, tidak dirayakan. Bahkan nyepi pun tidak. Jika diantara mereka melakukan amati geni pada saat nyepi bukan karena mereka merayakan tatapi karena takut tidak disebut sebagai orang Hindu oleh orang Hindu Bali fanatik. Hari dimana upacara seba gede dilakukan bisa dikatakan sebagai hari raya yagn terbesar bagi orang Trunyan, selain itu hair pelaksanaannya bertepatan dengan hari raya nyepi.
Ø  Sistem kepercayaaan orang Trunyam
Kepercayaan yang menghubungkan dengan sistem kepercayaan orang Trunyan adalah kepercayaan mengenai: 1) dunia gaib, 2) dewa-dewa, 3) makhluk-makhluk halus, 4) roh peribadi dan roh leluhur, 5) kekuatan sakti, 6)  kepercayaan mengenai penyakit dan kematia, 7) kepercayaan mengenai hidup dan hidup setelah mati, 8) kesusteraan suci.

  Dunia Gaib
Orang sadar trunyan sdadar bahwa dirinya terdiri dari dua aspek, yaitu dunia yang nyata dan dunia yang tidak tampak. Yang terakhir ini adalah yang berhubungan dengan sistem kepercayaanya. Dunia berada diluar jangkauan panca indera dan diluar batas akalnya. Didalam aspek dunia kedua inilah terdapat berbagai mahkluk halus dan kekuatan sakti, yang taidak dapat dikuasai manusia secara biasa. Dan karena kebanyakan orang Trunyam tergolong tidak mempunyai ilmu gaib untuk menghadaoi mahkluk-mahkluk halus tersebut, maka jalan yang ditempuh untuk menghadaoi mahkluk-mahkluk halus tersebutadalah dengan mengambil hati mereka serta menyembahnya, maksud penyembahan yang mereka lakukan adalah agar mahkluk-mahkluk gaib tersbut menjadi senang dan melindungi mereka serta membantu kehidupan orang Trunyan.



  Dewa-Dewa
Jumlah dewa-dewa orang Trunyan sangat banyak dan ada susunannya. Kebanyakan dari mereka itu mempunyai tempat persemayaman (pelinggih) tersendiri di dalam kuil utama Trunyan, Bali desa pancering Jagat Bali.
Dewa-dewa di Trunyan dapat dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan beberapa macam kriteria, diantarnya sebagai berikut:
A.     Berdasarkan hubungannya dengan raja dewanya (Ratu Sakti Pancering Jagat) Dalam kriteria ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
1.      Dalam hubungan kekerabatan.
Dewa-dewa yang tergolong kerabat dewa tertinggi Trunyan adalah Ratu
Ayu Pinyit Dalam Dasar, yang merupakan permaisurinya, Ratu Ayu
Mekulem, merupakan istrinya yang lain, dan Ratu Gede Dalam Dasar, yang
merupakan putra tertuanya dari hasil perkawinannya dengan perrmain suri.
2.      Dalam hubungan pemerintahan.
Dewa-dewa yang tergolong dalam pemerintahan kerajan Ratu Sakti Pancering Jagat antara lain: Ratu Sakti Gunung Agung, yang mengurus mencarikan dana bagi perayaannya; Ratu Sakti Meduwe Gama Ujung Sari, yangmegurus pembuatan awig-awig (undang-undang); Ratu Sakti Pujangga Lueh, yang bertugas sebagai pendeta kerajaan, yangmengurus hal keagamaan dan pembuatan tirtha (air suci); Ratu Sakti Meduwe Raja, yang bertugas sebagai sekretarisnya; Ratu Ayu Manik Surat Mepura Kangin dan Ratu Ayu Manik Sutra Mepura Kaoh, dua orang dewa kembar yang bertuga mengawasi tingkah para pesuruh desa yaitu para buta kala; Betara Kaler, yang bertugas sebagai panglimanya; Ratu Wayan Purus Mandi,yang bertugas sebagai jaksa kerajaan; dan Ratu Wayan Besang Bedel, yang bertugas sebagai hakim kerajaannya.
B.     Berdasarkan perbedaan lokasi pelinggihnya.
Berdasarkan lokasi pelinggihnya, dewa-dewa di Trunyan dapat pula dibagi menjadi dua golongan yaitu:
1.       Berada di desa induk Trunyan (Belongan Trunyan)
Dewa-dewa dari golongan pertama ini adalah mereka yang merupakan kerabat dan para menteri dewa tertinggi Trunyan. Dewa-dewa ini bersemayam di dalam kuil utama Trunyan, Bali desa Pancering Jagat Bali.
2.      Berada di tempek-tempek
Para dewa dari golongan kedua ini adalah mereka yang hanya dipuja penduduk desa tertentu dan warga dadia tertentu. Contohnya yang  pelinggih-pelinggihnya berada di pura bunut yang terletak di tempek. Para dewa tersebut tidak dipuja oleh seluruh penduduk Trunyan, melainkan asli tempek tersebut.
C.    Berdasarkan jumlah pemujanya.
Dewa-dewa Trunyan dapat pula dibagi menjadi dua golongan berdasarkan jumlah pemujanya, yaitu desa atau Dadia  (klen kecil patrineal). Dewa-dewa golongan pertama adalah mereka yang merupakan kerabat serta pembantu (menteri) dewa tertinggi Trunyan dan bersemayam didalam kuil utama Trunyan. Dewa-dewa golingan kedua adalah mereka yang merupakan leluhur masing-masing Dadia, dan bersemayam di sanggh dadia-dadia masing-masing.
Para dewa Trunyan sebagian besar bersifat pengasih dan selalu melindungi penduduk Trunyan, dan sebagian kecil bersifat suka menghukum. Ada satu dwa yang tidak mempunyai pelinggih khusus, yaitu Empu Rare atau Kumara. Tugas dewa tersebut adalah menjaga seorang anak bayi yang baru lahir, sampai usia 12 bulan. Dewa ini hanya dipuja jika sebuah rumah tanggal kelahiran seorang anak bayi.
Dewa-dewa di Trunyan juga mempunyai lambang suci yang disimpan di dalam pelinggih-pelinggih masing-masing. Lambang tersebut dapat dibagi dua, yaitu yang pertama disebut pertima, yang dibuat manusia, dan yang kedua yang disebut piturun, diyakini oleh orang Trunyan diturunkan langsung dari langit oleh dewa yang bersangkutan.

  Mahkluk-Makhluk Halus
Selain para dewa, orang Trunyan juga yakin bahwa didunia alam gaib ada mahkluk halus seperti Buta Kala, Anak diPeteng, Jin, bintang-bintang gaib dan lain sebagainya.
1.       Buta kala adalah roh halus yang bukan berasal dari manusia. Kedudukannya masih lebih rendah dari para dewa. Karena mereka merupakan pesuru-pesuruh dewa. Buta kala berbeda dengan para dewa karena sifatnya yang bermusuhan dengan manusia, selalu mengganggu manusia. Mereka akan berhenti mengganggu manusia jika diberi sesajian khusus yaitu yang disebut caru. Tempat tinggal para buta kala ini disekita bali Desa Pancering Jagat Bali. Didalam Bali Desa mereka berada terutama dibawah pohon beringan yang terletak  di kompleks Kemulan Kangin dan pohon nangka tua di Tinggkih tengah. Buta kala sering menampakkan diri dalam bentuk raksasa atau seekor kuda.
2.       Mahkluk halus yang disebut anak di peteng ada tiga macam, yaitu: hantu, nyama pat (empat saudara), jim dan roh anak kecil.
a.       Hantu adalah roh manusia Trunyan, yang oleh kerabatnya yang masih hidup, belum juga di-aben-kan walaupun ia sudah lama meninggalkan badan kasarnya. Roh-roh semacam ini menjadi jahat karena kesal tidak dapat melepaskan diri dari kehidupannya yang lama. Menurut kepercayaan orang Trunyan, roh-roh yang dapat menjadi hantu hanyalah roh-roh yang pada waktu meninggalnya telah menikah dan juga mati secara tidak wajar. Hal ini disebabkan karena mereka termasuk roh yang paling “kotor” (sebel), sehingga selama belum melalui upacara pembersihan serta pengabenan harus bertempat tingal di tempat paling kotor.
b.      Nyama Pat adalah roh-roh empat saudara seorang anak bayi Trunyan, sewaktu masih dalam rahin ibunya. Empat saudara tersebut adalah yeh nyem (air tuban), getih (darah), ari-ari(placenta), dan tali pusat.
c.       Jim mungkin berasal dari kata jin. Penampilan roh ini berupa seorang perempuan atau lelaki. Roh ini dibedakan dari hantu, karena bukan berasal dari orang Trunyan. Tempat kediaman jim ini di jalan Batu Gede.roh terakhir yang temasuk dalam kategori anak di peteng adalah roh-roh anak kecil, yang sering menampilkan diri di jalan megalitik batu gede, yaitu dibagian yang berada tepat di atas setra nguda (tempat pemakaman anak kecil dan teruna/debunga). Mereka ini tidak bersifat jahat, hanya suka meminta makan, maka orang yang lewat dijalan tersebut harus memberi sajian.
3.       Didalam kepercayaan orang-orang Trunyan ada pula bintang-binatang gaib yang disebut Druwe, dan dianggap sebagai piaraan dewa. Bintang-binatang gaib yang termasuk dalam kategori ini adalah naga bersisik dan berjengger emas, ular, kelelawar dan harimau. Naga ini tunggangan Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar dan putranya yang bernama Ratu Gede Dalam Dasar. Upacara mekelem, yaitu memberi sajian dengan menenggelemkannya kedalam danau untuk para piaraan dewa tersebut. Naga ini ada kalanya bermain di dalam penaleman (bagian kuil utama Trunyan yang tersuci).

  Roh Pribadi Dan Roh Leluhur
Orang Trunyan juga membedakan badan kasar degnan badan halus, jika badan kasar dapat lenyap setelah orang yang memilikinya meninggal, maka badan halusnya atau rohnya tidak.
Roh  manusia adalah abadi, dan roh tersebut akan terus kembali menitis ketubuk kasar orang se-dadia-nya. Penitisan terus-menerus suatu roh didalam suatu dadia dari generasi kegenrasi yang lain, menyebabkan orang Trunyan tidak berani menyakiti anak dan keturunannya. Dan setiap orang Trunyan harus menghormati tubuh halusnya, karena jiwa yang bersemayam di dalam tubuh pribadinya adalah roh dari salah seorang leluhur mereka. Roh-roh leluhur yang menitis kembali pada orang Trunyan ada kalanya berasal dari mereka yang sudah mempunyai kedudukan sebagai dewa. Roh-roh leluhur yang telah mencapai tinggakat kedewan in jika menitis selalu kedalam tubuh anak-anak kembar dua. Anak kembar dua yang berkelamin sama disebut kembar patuh, Anak kembar dua yang berbeda jenis kelami disebut kembar buncing, dan kembar tiga atau lebih disebut kembar telu. Dengan kelahiran anak kembar ini bukan saja keluarga yang melahirkan berada dalam keadaan sebel, yaitu muharram, tetapi seluruh desa Trunyan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam masalah kelahiran anak kembar di Trunyan adalah mengenai dualisme, yaitu disatu pihak ia dianggap sial, tetapi dipihak lain ia diangga sebagai keberuntungan.
Anak-anak kembar jika dapat hidup, selama hidupnya dianggap suci sehingga mendapat gelar kesucian yaitu: Jero Patuh untuk Kembar Patuh, Jero Salit untuk Kembar Buncing, dan Jero Telu untuk kembar tiga.

  Kekuatan Sakti
Orang Trunyan seperti hanya bangsa-bangsa di sunia ini juga mempercayai adanya kekuatan-kekuatan gaib dalam gejala-gejala yang luar biasa. Gejala-gejala dan hal-hal yan gluar biasa tersebut dapat berupa gejala-gejala alam, tokoh-tokoh manusia, bagian-bagian tubuh manusia, bintang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda dan lain sebagainya.
Gejala-gejala yang orang Trunyan anggap mempunyai tenaga gaib adalah angin, yang bertiup dari arah barat laut, yaitu dari arah desa Songan. Angi tersebut disebut angin Gering, yang berarti angin penyakit.
Tokoh-tokoh manusia yang dianggap mempunyai kekuatan tenaga gaib adalah para balian di Trunyan, karena mereka mempunyai tenaga untuk menguasai tenaga alam seperti hujan, untuk mencelakai orang dengan cara gaib, atau menyembuhkan orang sakit. Guru Parbawi misalnya, seorang balian terkemuka yang dapat mendatangkan dan mengusir hujan.

  Kepercayaan Mengenai Penyakit Dan Kematian
Penyakit bagi orang Trunyam sangat erat kaitannya dengan alam gaib, menurut mereka penyebab utama dari suatu penyakit adalah anak di peteng (roh jahat). Manusia yang terbentur anak di peteng maka akan sakit. Sakit juga disebabkan roh pribadi si sakit marah, biasanya ini disebbkan hari lahirnya tidak diupacarakan (otonan). Selain dua sebab diatas peran balian pengiwa yang dapat mengerahkan roh-roh jahat juga diyakini dapat menjadi sebab dari suatu penyakit.
Seseorang yang meninggal dalam kepercayaan Trunyan akan dimakamkan sesuai dengan kondisi kematiannya. Ada dua macam jenis pemakaman di Trunyan. Yaitu exposure dan inhumation. Oleh karena itu di desa Trunyan disediakan tiga tempat pemakaman: (1) Sema Wayah, dipergunakan untuk pemakaman mepasah (exposure). (2) Sema Bantas, dipergunakan bagi pemakaman dengan penguburan. (3) Sema Nguda, dipergunakan bagi kedua jenis penguburan.
Eskatologi orang Trunyan menyakini adanya surga. Orang-orang yang meninggal dalam keadaan belum kawin atau anak-anak akan langsung masuk surga. Sedangkan yang lainnya setelah meninggal akan gentayangan menunggu jenazahnya diabenkan. Setelah itu baru bisa menitis kembali. Jika tidak diabenkan ia mengganggu kerabatnya. Uniknya orang Trunyan lebih memilih menitis kembali dari pada masuk kedalam surga.

  Kesusasteraan Suci
Seperti juga bangsa-bangsa di dunia, orang Trunyan juga mempunyai kesusasteraan suci atau mite (myth). Mite tersbut adalah: mite tentang dewi yang turun dari langit, dan legenda tentang anak-anak dalem solo yang mengembara mencari sumber bau-bauan harum.
D.    Upacara Kematian dan Pemakaman Trunyan
Terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
1.      Mepasah (meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka), orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.Jumlah liang lahat di area kuburan utama ada sekitar 7 ancak saji atau liang yang digunakan secara bergantian untuk tiap jenasah. Jika semua liang terisi, sementara ada warga yang harus dimakamkan, maka salah satu rangka jenasah dalam liang harus diangkat dan diletakkan di sekitar liang.
2.      Dikubur/dikebumikan, orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.
Desa Trunyan yang merupakan salah satu wilayah dihuni oleh Suku Bali Aga atau Bali Mula yang masih teguh memegang kepercayaan leluhurnya. Bali Aga atau Bali Mula merupakan suku bangsa yang pertama mendiami Pulau Bali. Hingga kini suku Bali Aga dan segala keunikannya masih dapat ditemui salah satunya di Desa Trunyan.
Dalam keseharian masyarakat Bali pada umumnya beragama “Hindu”, bila ada kerabat yang meninggal maka biasanya dilakukan kremasi atau mengubur jenazah tersebut sesuai dengan diajarkan oleh agama Hindu.
Di Desa Trunyan, jenazah tidak dikubur atau dikremasi seperti yang umumnya terjadi di wilayah lainnya, masyarakat Desa Trunyan menyimpan jenazah kerabatnya yang telah meninggal di atas tanah, dengan ditutupi kain dan bambu yang disusun membentuk prisma. Masyarakat desa Trunyan menamakan upacara pemakamannya dengan istilah Mepasah.
Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa dalam mepasah, setelah upacara pembersihan dengan cara dimandikan dengan air hujan, jenazah hanya digeletakan di permukaan tanah. Tempat pembaringan jenazah diberi lobang sekitar 10 hingga 20 cm agar posisi jenazah tidak bergeser akibat kontur tanah pemakaman yang tidak rata.
Kemudian selain bagian wajah, bagian tubuh jenazah dibalut kain berwarna putih. Sebagai penanda, jenazah ditutup dengan bambu yang disusun membentuk prisma yang disebut ancak saji. Yang unik adalah meski pun jenazah diletakan di permukaan tanah, mayat tersebut tidak tercium baunya.
Jenazah tersebut diletakan di antara pohon Taru Menyan, taru berarti pohon dan menyan berarti harum. Kiranya, aroma yang keluar dari pohon taru menyan inilah yang dapat menetralisir udara di sekitarnya.
Pohon yang mengeluarkan aroma khas yang kuat tersebut hanya dapat tumbuh di daerah ini, meskipun telah dicoba ditanam di daerah lain. Keunikan pohon ini agaknya telah menjadi cikal bakal nama desa Trunyan.
Di bawah satu pohon taru menyan, hanya dapat diletakkan maksimal sebelas jenazah. Hal tersebut sudah diatur oleh kepercaan adat setempat. Tetapi ada yang mengatakan bahwa satu pohon taru menyan hanya bisa menetralisir sebelas jenazah, jadi jika lebih dari itu maka jenazah tersebut akan mengeluarkan bau.
Bila ada jenazah yang baru, maka maka satu jenazah yang paling lama akan dipindahkan, ke tempat terbuka, tidak ditutupi dengan kurung ancak saji lagi melainkan disatukan dengan dengan jenazah lainnya dalam tatanan batu atau di bawah pohon.
Maka tidak heran jika di tempat tersebut, terdapat tulang belulang dan barang-barang bekal sesaji seperti sandal, sendok, piring, pakaian, dan lain-lain berserakan di area pemakaman. Hal tersebut memang disengaja karena tidak boleh ada barang yang yang dibawa keluar dari area pemakaman ini.
Tetapi tidak semua jenazah dapat diperlakukan sama seperti yang telah disebutkan. Hanya pada kondisi tertentu saja jenazah dapat dimakamkan seperti ini. Syarat jenazah yang dapat dimakamkan dengan cara tersebut adalah mereka yang pada waktu meninggal termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal, orang-orang yang meninggal dalam keadaan wajar dan tidak terdapat luka yang belum sembuh, serta memiliki bagian tubuh yang lengkap. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, maka jenazah disemayamkan dengan cara dikubur.
Adat Desa Trunyan telah mengatur tata cara pemakaman untuk masyarakatnya. Terdapat tiga jenis sema (makam) yang berada di Desa Trunyan dan telah dibedakan berdasar umur orang yang meninggal, keutuhan bagian-bagian tubuh, dan cara penguburannya.
Area pemakaman pertama disebut sebagai sema wayah, tempat pemakaman yang dianggap paling baik dan paling suci, yaitu ketika jenazah dapat dimakamkan dengan cara mepasah. Jenis pemakaman kedua adalah sema muda, di tempat ini jenazah dikebumikan dengan cara dikubur, diperuntukkan bagi anak-anak atau bayi yang gigi susunya belum tanggal.
Jenis ketiga adalah sema bantas, sama halnya dengan sema muda jenazah dikebumikan dengan cara dikubur, namun diperuntukkan bagi orang-orang yang Ulah Pati dan Salah Pati, yaitu pada saat meninggal masih meninggalkan luka dan penyebab kematiannya tidak wajar seperti kecelakaan, kehilangan nyawa disebabkan oleh tindakan owang lain, kehilangan nyawa karena sengaja, dan ada bagian tubuh yang tidak utuh.
E.     Interaksi Kepercayaan Orang Trunyan Dengan Agama-agama Lain
Dinamika budaya serta perubahan sosial  di Trunyan juga menjadi salah satu bukti interaksi Trunyan terhadap agama-agama lain. Letak Trunyan yang terpencil dari kehidupan orang bali pada umumnya, dan bangsa Indonesia pada lainnya. Biarpun seperti itu desa ini telah lama menjadi perhatian orang luar, terutama dalam penyebaran agama Hindu disana, yang mayoritas di anaut oleh masyarakat Bali. Persentuhan desa Trunyan dengan budaya luar, sebenarnya sudah mulai sejak lama. Namun persentuhan tersebut sebatas pada Hindu Bali saja. Setelah itu, persentuhan yang dibawa dari masa kolonialisasi baik budaya Asia, seperti Jawa, India dan Cina, ternyata tidak berdampak begitu berarti pada perkembangan kepercayaan. Mereka dengan teguh tetap berusaha melestarikan kebudayaan yang dimiliki. Apalagi dewasa ini, Bali secara keseluruhan telah dikenal di mata Internasional menjadi salah satu tujuan wisata. Selain karena keindahan alam laiknya sentuhan agung Tuhan surgawi, juga karena keteguhan penduduknya akan tradisi keagamaan, yang lebih dikenal sebagai “Pulau Dewata”. Dukungan dari pemerintahan untuk pariwisata seperti ini yang menyebabkan tradisi budaya lokal terus digalakan perkembangannya. Dewasa ini, pertumbuhan pembangunan modern sudah sangat nampak di daerah Trunyan. Pembangunan hotel, villa, restoran serta tempat peristirahatan lainnya berkembang pesat. Disamping itu, pembangunan kuil sesembahan, tempat pemujaan juga banyak dibangun. Meski sepertinya ada sangat besar pergeseran nilai yang terjadi seperti pergeseran kehidupan pertanian ke sektor pariwisata, namun pelestarian kebudayaan dan kepercayaan masih terus akan bertahan dan berkembang. .

Selain itu antara etnis Bali dan Etnis Sasak (Islam) juga terjadi interaksi jual beli di pasar tradisional antara pedagang etnis Sasak misalnya (pedagang sate, cendol, buah, kain, tukang jarit dan sebagainya) dengan pembeli masyarakat etnis Bali dan begitu pula sebaliknya. Tidak hanya sebatas pedagang dan pembeli, interaksi juga terjadi pada sesama pedagang etnis Bali dan Etnis Sasak. Mereka saling memberikan rekomendasi dagangan teman atau kerabat mereka kepada pembeli yang ingin membeli kebutuhan sehari-hari. Kerjasama juga terjadi saat para pedagang etnis Bali dan etnis Sasak saling membantu menaikkan dan membawa barang-barang dagangan saat berurusan dengan pihak berwajib (tibun).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

kumpulan video suku bawean

Masyarakat Bawean juga terkenal dengan budaya merantau. Mereke merantau ke Bandar Malaka berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu kare...