Super Kawaii Cute Cat Kaoani

Senin, 29 Mei 2017

Suku Bawean

SUKU BAWEAN
Suku Bawean dimasukkan kedalam sub suku Jawa menurut sensus BPS tahun 2010.[1] Masyarakat Melayu Malaka dan Malaysia lebih mengenal dengan sebutan Boyan daripada Bawean dan dalam pandangan mereka Boyan berarti sopir dan tukang kebun (kephun dalam bahasa Bawean), karena profesi sebagian masyarakat asal Bawean adalah bekerja di kebun atau sebagai sopir. Orang-orang Bawean merupakan satu kelompok kecil dari masyarakat Melayu yang berasal dari Pulau Bawean yang terletak di Laut Jawa antara dua pulau besar yaitu Pulau Kalimantan di utara dan Pulau Jawa di selatan. Pulau Bawean terletak sekitar 80 mil ke arah utara Surabaya, dan masuk kabupaten Gresik.[2] Pulau Bawean terdiri atas dua kecamatan, yaitu kecamatan Sangkapura dan kecamatan Tambak. Diponggo adalah salah satu kelurahan dari 30 kelurahan di pulau Bawean yang bahasanya berbeda jauh dari desa-desa yang lain. Masyarakat Diponggo berbahasa semi Jawa, hal mana merupakan warisan dari seorang ulama wanita yang pernah menetap di desa itu, yaitu waliyah Zainab, yang masih keturunan Sunan Ampel.
1.      Letak Geografis
Secara geografis kepulauan Bawean terletak antara 112 45’ Bujur Timur dan 5 45’Lintang Selatan. Luas wilayah sebesar 196,27 Km. kepulauan Bawean terdiri dari 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Sangkapura dan Kecamatan Tambak. Diameter pulau Bawean kira-kira 12 kilometer dan jalan yang melingkari pulau ini kira-kira panjangnya 70km dan bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam. Kecamatan Sangkapura mempunyai luas 118.72 Km, dengan jumlah Desa 17 dan Kecamatan Tambak mempunyai luas 77.55 Km, dengan jumlah Desa 13.[3]
 
2.      Mitologi Suku Bawean
Pada mulanya pulau ini bernama"pulau mejeti"atau 'pulau majdi"yang berasal dari bahasa arab yang artinya uang logam,disebut demikian karna bentuk pulau ini bulat seperti uang logam.Tapi mengapa akhirnya bernama Bawean?ceritanya demikian"pada masa kerajaan majapahit berada pada saat ke emasannya ia bermaksud untuk menyatukan nusantara maka dikirimlah seluruh armadanya untuk berlayar menuju daerah yang jauh di sana ternyata dari sekian banyak armada yang dikirim ada yang mendapat kemalangan perahu mereka di serang badai di laut Jawa dan akhirnya mereka yang terselamat terdampar di sebuah pulau,dari rasa yang sangat gembira karena terselamat,tanpa sengaja terlontarlah kata dari ketua pasukan "BA-WE-AN” yang berasal dari bahasa sansekerta "BA" artinya sinar "WE" artinya matahari "AN"artinya ada, yang bermaksud ADA SINAR MATAHARI.Kini mereka hidup di pulau yang baru mereka kenal dengan penuh kebahagiaan karna baru saja terselamat dari maut dengan nama itulah mereka menyebut pulau itu BAWEANyang lambat laun panggilan majeti atau majdi tidak terdengar lagi[2]
Menurut sahibul hikayat, arti dari nama Bawean secara harfiah adalah “sinar mata mentari”, sebelumnya Pulau Bawean itu bernama Pulau Majeti, ada pula menyebut Pulau Majedi. kerajaan Majapahit dalam upaya mencari tanah jajahan baru, pada tahun 1350 serombongan kapal dari kerajaan tersebut sudah berbulan-bulan mengarungi samudra. Di suatu pagi yang masih berkabut tebal mereka sampai di laut Jawa. Muncul sinar matahari dari sebuah daratan. Kemudian mereka mendarat di daratan tersebut, di daratan itulah mereka seakan-akan hidup kembali, karna mereka sudah berbula-bulan mengarungi samudra. Selain itu Pulau Bawean dikenal juga dengan nama Pulau Putri yang mengandung makna sendiri. Penamaan Pulau Putri, sesungguhnya tidak semata mata terkait dengan jumlah penduduk Bawean, di mana perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki, yang mana para lelaki-lelakinya banyak yang merantau keluar negeri. Melainkan nama Pulau Putri memiliki alur  tertentu, identitas maknawi. Tetapi menurut Ahsan warga Bawean dinamakan Pulau Putri karena para lelakinya banyak yang merantau keluar Bawean atau keluar negeri kalau cuma bekerja di Bawean mereka hanya cukup untuk dimakan sehari-hari bahkan tidak cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya dan tidak bisa memberi kepada orang tuanya, itu alasan mereka banyak yang merantau ke luar.[4]
3.      Pernikahan suku Bawean
Pernikahan sebagai salah satu dari fase proses kehidupan manusia, oleh manusia Bawean dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Pernikahan dimaknai sebagai utuhnya tanggung jawab seorang anak dan terlepasnya ketergantungan tanggung jawab orang tuanya. Dengan demikian usailah tugas sang orang tua dalam mengasuh, mendidik dan melindungi sang anak.
Kegembiraan pernikahan tersebut olah masyarakat Bawean dirayakan dan dimeriahkan sedemikian rupa mengikuti kemampuan finansial keluarga yang punya hajat maupun status sosialnya. Sikaya yang dipandang sebagai orang yang berstatus sosial tinggi, tidak akan segan mengeluarkan uang yang begitu banyak demi pengakuan atas statusnya. Bahkan tidak jarang adapula yang menyelenggarakan acara pernikahan melebihi batas kemampuannya hingga melahirkan hutang demi mendapatkan pengakuan dari masyarakat sebagai orang yang berkemampuan dan berstatus sosial yang tinggi. Perayaan itu diBawean pada umumnya digelar hingga tiga hari tiga malam. Namun pada keluarga kaya, acara pernikahan tersebut bisa saja digelar hingga tujuh siang tujuh malam.
Perjodohan atau pernikahan pada masyarakat Bawean masa dahulu, lebih banyak berdasarkan pilihan orang tua. Orang tua yang memiliki anak laki-laki yang telah dianggap telah cukup umur dan bekal untuk dinikahkan, akan mulai memilih-milih anak gadis untuk di jodohkan dengan anak laki-lakinya. Dalam pemilihan jodoh ini selain kondisi fisik anak gadis yang dimaksud, juga dipertimbangkan mengenai asal-usul, keturunan, dan keadaan ekonomi keluarga bakal calon besannya. Didalam memilih tersebut, selalu dipilihkan bakal calon yang dianggap sepadan. Pencocokan hitungan penjodohadilakukan dengan sistem penghitungan tersendiri berdasarkan jumlah huruf nama kedua anak tersebut, maupun berdasarkan tanggal lahirnya. Sebelum lamaran ini dilaksanakan, diutus tetua adat kerumah mempelai putri untuk menjajaki kemungkinan dilangsungkannya lamaran, dalam arti apakah keluarga itu belum terikat janji dengan keluarga lain berkenaan dengan anak perempuan yang akan di jodohkan.tahapan dalam pernikahan suku Bawean ialah sebagai berikut :
a)      Ngalamar (lamaran) tahapan ini merupakan tahapan awal dari seluruh rangkaian prosesi pernikahan. Pada tahap ini orang tua pijak jejaka yang terdiri dari kedua orang tua, keluarga yang dituakan, dan lurah datang kerumah keluarga gadis yang menajdi pilihannya dengan maksud melamar. Lamaran pihak jejaka ini dilain waktu akan dibalas oleh pihak orang tua sang gadis mendatangi rumah keluarga jejaka. Dalam kunjungan balasan ini jika lamaran pihak jejaka diterima, sekaligus ditentukan tanggal pernikahan dan perhelatan yang akan di gelar
b)      Selanjutnya jika lamaran diterima harus segera melapor ke lurah, karena pernikahan nanti akan melibatkan seluruh warga. Setelah itu ada pemilihan To’ To’a. wanita yang akan menikah harus dipingit.
c)      Hari pertama
Pagi hingga siang bersamaan dengan mamasang, muda mudi secara bergantian memainkan musik dhungka yang merupakan pertanda sekaligus menghabarkan bahwa ditempat itu akan ada perhelatan pernikahan. Para muda-mudi dan orang-orang tua sibuk dalam kebersamaan gotong royong dalam mendirikan tarop, membersihkan lingkungan sekitar rumah pengantin, menghias dan membuat pelaminan. Ibu-ibu mempersiapkan makanan dan kue-kue untuk perhelatan ini. Seluruh aktifitas persiapan ini dalam Bahasa Bawean disebut mamasang. Keganyangan gotong royong tersebut berlangsung dirumah kedua pengantin.
a)      Harikedua
Mamarase yang berupa memotong bagian depan rambut yang merupakan rambut-rambut kecil dikening pengantin putri. Pemotongan rambut ini dilakukan oleh to’a-to’a dan juru rias. Pagi hari atau Malam harinya dilaksanakan Salamet Kabin dan Akad nikah. Selamatan pernikahan ini dilangsungkan dirumah pengantin pria dan wanita pada waktu yang berbeda di siang hari. Di kedua tempat tersebut mengundang sanak famili, teman, kenalan dan warga kampung lainnya. Pada acara selamatan di tempat pengantin wanita sekaligus dilangsungkan akad nikah dengan disaksikan seluruh hadirin.
Sementara selepas isya’ pengantin wanita duduk di pelaminan dengan pakaian pengantin lengkap yang dalam bahasa bawean disebut “Panganten A’ Totongghu”. Dihadapan pengantin wanita duduk keluarga pengantin wanita dan masyarakat yang ingin menonton pengantin wanita. Panganten A’ totongghu ini memiliki makna sebagai ajang mempertontonkan kepada khalayak bahwa mempelai wanita telah siap untuk menikah. Selain itu pengantin wanita bermaksud menunggu untuk menyaksikan hantaran berbagai perlengkapan rumah tangga dari pihak pengantin pria yang dalam Bahasa Bawean dikenal dengan “Tolong Berang”. Ketika barang hantaran yang terdiri dari berbagai barang keperluan rumah tangga datang yang dibawa oleh keluarga pengantin pria, semua barang tersebut diletakkan di hadapan pengantin wanita dan keluarganya. Barang hantaran tersebut apabila mempelai prianya merupakan anak laki-laki termuda dan terakhir dinikahkan di keluarga tersebut, maka barang bawaannya berupa hasil bumi lengkap, pakaian, meubel, peralatan dapur dan lain-lain. Pada kasus semacam itu, dimasyarakat Bawean di kenal dengan “Nga Bhungkar Sendhi”.
b)      Hari ketiga (REPOTNA)
Pagi hari dilaksanakan penyembelihan sapi 1 – 3 ekor atau lebih untuk dihidangkan kepada undangan yang datang dalam perhelatan. Penyembelihan sapi ini di lakukan secara gotong royong oleh pemuda dan bapak-bapak warga desa serta keluarga luas pengantin. Jumlah hewan sapi yang disembelih menjadi salah satu nilai pristise dan status sosial sipunyahajat.
Malam hari A’adheng-adheng, yaitu memasak nasi dan lauk untuk acara perhelatan yang dilakukan secara gotong royong oleh ibu-ibu baik keluarga maupun warga desa. Sebagai hiburan pada malam itu disajikan kesenian Jibul.
c)      Hari keempat
`Panganten Matammat-tammat / Nammattaken, yang mana penganten putri membaca Al Qur’an hingga Khatam di pelaminan rumah pengantin wanita dengan di saksikan keluarga pengantin pria, wanita dan masyarakat pada siang hingga sore hari. Acara khataman ini dimaksudkan sebagai uji kemampuan mambaca Al-qur’an bagi pengantin wanita. Kemampuan dalam membaca Al-Qur’an bagi wanita Bawean menjadi prasyarat tersendiri dan sekaligus sebagai perlambang atas muatan pengetahuan agama si pengantin wanita. Setiap selesai pembacaan satu surat Al Qur’an, keluarga mempelai laki-laki dan wanita memberi uang tombhuk ke wadah yang disediakan di hadapan mempelai wanita sebagai ungkapan tingginya kemuliaan wanita yang memiliki pengetahuan agama sebagai bekal calon ibu di dalam keluarga.
Pada malam hari dilangsungkan panganten mole. Mempelai pria dengan pakaian pengantin lengkap diarak dari rumahnya dengan menunggang kuda menuju rumah penganten wanita dengan diantar oleh seluruh keluarga dan warga kampung. Iring-iringan ini dimeriahkan dengan musik kercengan. Ibu-ibu dan perawan membawa kue-kue, sedangkan para perjaka membawa pakaian penganten pria. Pada bagian ujung depan iring-iringan dibawah sebatang tebu utuh dengan daunnya, yang pada bagian atas batangnya di gantung dua buah pinang tua yang telah kuning dan seikat daun sirih sebagai perlambang bahwa mempelai pria memiliki alat reproduksi yang sehat dan jantan. Diantara iring-iringan tersebut terdapat tokoh adat dari masing-masing desa yang terdiri dari tetua adat, lurah, dan mudhin serta pendekar.
Sesampai di depan pintu pagar masuk rumah mempelai wanita, pintu masuk ditutup oleh keluarga mempelai wanita dengan sehelai kain. Prosesi masuk mempelai pria ini dimulai dengan perdebatan yang tidak mencapai kata sepakat yang dalam Bahasa Bawean di sebut memeselan. Karena tidak mencapai kata mufakat, maka terjadilah adu pencak silat diantara kedua belah pihak pendekar pengantin (pencak parese).
Pada malam ini dapat di katakan sebagai puncak kegembiraan pesta dari seluruh rangkaian Upacara Adat Pengantin Bawean. Kedua mempelai naik dan duduk bersanding berdua di pelaminan. Sementara itu diadakan berbagai acara hiburan seperti mandiling, korcak, kercengan, hadrah, dan bhengsawen. Seluruh keluarga dan masyarakat turut bergembira menyaksikan berbagai hiburan yang di gelar.
d)     Hari kelima
Panganten Ater Pandi. Kedua mempelai dimandikan dihalaman rumah mempelai putri dengan disaksikan seluruh keluarga dan warga desa. Selanjutnya seluruh keluarga dan warga desa saling siram. Acara siraman ini dimulai dengan memandikan kedua mempelai oleh seorang modhin perempuan dengan suatu tata cara laku tersendiri dengan ubu rampenya. Setelah selesai kedua mempelai dimandikan, maka semua keluarga saling siram hingga basah kuyup. Keluarga dan handai tolan yang tidak hadir di tempat tersebut di cari kerumah atau tempat kerja masing-masing untuk di siram dan saling siram. Bahkan keluarga yang berada di rantaupun, melakukan saling siram. Pada masyarakat Bawean yang leluhur keturunannya berasal dari suku Mandar atau Bugis Sulawesi, apabila tidak dilangsungkan acara ater pandi, maka pengantinnya akan kesurupan dan pingsan. Untuk menyembuhkannya cara pengobatannya adalah dengan melaksanakan prosesi pengantin ater pandi. Sore hari atau malam harinya dilangsungkan Panganten Maen. Kedua mempelai diarak diatas pelaminan berkeliling desa dan menuju kerumah mempelai putra.
e)      Hari keenam
Diadakan adu pencak silat antar pendekar beserta murid-muridnya yang melibatkan hampir seluruh pendekar pencak silat yang ada di Bawean. Adu ketangkasan seni pencak silat ini merupakan salah satu hiburan yang banyak di gemari oleh Masyarakat Bawean.
f)       Hari ketujuh
Penganten Nyenyereni. Keluarga pengantin putra membawa perlengkapan rumah tangga dan sejumlah bahan makanan untuk persediaan makan kedua mempelai selama 40 hari dan diantara orang tua saling menitipkan kedua pengantin. Hantaran bahan makanan selama 40 hari tersebut sebagai perlambang tanggung jawab keluarga pengantin laki-laki atas nafkah yang harus dipikul anaknya, yang mana selama 40 hari berdasarkan petuah tidak diperkenankan untuk bekerja.
g)      Hari kedelapan
Panganten Ater Sapo. Penganten putri diantar to’a-to’a membantu pekerjaan ringan dirumah penganten putra. Sekaligus seakan-akan memberi tahu pada keluarga penganten putra, bahwa ia telah melaksanakan kewajiban di malam pertama.[5]
4.  Identitas Suku Bawean
a)      Mata pencaharian

       Mata pencaharian orang Bawean yang berada di pulau Bawean adalah sebagai petani. Mereka telah lama mempraktekkan pertanian tanaman padi, jagung, ubi dan sayur-sayuran. Kelapa juga banyak ditemukan di sekeliling perkampungan mereka. Selain itu para laki-laki yang tinggal di pulau Bawean ini, banyak yang bekerja sebagai nelayan. Pulau kediaman suku Bawean ini juga terkenal sebagai penghasil marmer, dan para perempuan Bawean sangat terampil dengan kerajinan tangan unik dari daun pandan yang kemudian diolah menjadi tikar.
b)       Sistem Kekerabatan
Di pulau Bawean, mayoritas penduduknya kebanyakan perempuan, dikarenakan para laki-lakinya sebagian besar bekerja di pulau-pulau lain. Orang Bawean, memiliki jiwa perantau yang sudah menjadi tradisi bagi mereka, bahkan semacam "keharusan’’ bagi para laki-laki Bawean. Menurut mereka kalau belum pernah merantau ke tempat lain berarti belum dewasa. Orang Bawean memiliki jiwa merantau yang sangat kuat, sehingga mereka juga tersebar kemana-mana, termasuk ke Malaysia, Singapore bahkan sampai ke Australia.Orang Bawean, secara ras, mirip dengan orang Madura dan Jawa, ditinjau dari segi bahasa yang mirip. Selain itu dahulu pulau Bawean termasuk wilayah Madura.
Masyarakat Bawean, memiliki ciri dari berbagai suku-bangsa di sekelilingnya, mereka mendapat pengaruh budaya dari etnik Madura, Jawa, Bugis, Sumatera dan Kalimantan. Seorang wartawan Kompas Emmanuel Subangun menuliskan pada tahun 1976, bahwa orang Bawean adalah "Kristalisasi Keragamaan Etnik Indonesia". Maka dari itu sistem kekerabatan bagi suku bawean bukanlah hal yg asing , karena sifat mereka mempunyai jiwa rantau dimana mereka harus terbiasa membaur dengan suku lain. Dan juga mereka memiliki sifat yang sulit di atur, keras, dan sok pinter sifat tersebut menunjukan bahwa orang bawean adalah orang yang hebat dengan tingkat kemandirian yang lebih.
5.      Budaya – Budaya
a)      Kercengan
Kercengan biasanya dipersembahkan sewaktu acara Perkawinan. Masyarakat Madura menyebut nama kercengan dengan Hadrah.
Penari berbaris sebaris atau dua baris. Pemain kompang dan penyanyi duduk di barisan belakang. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu salawat kepada Nabi Muhammad SAW. Pemain kercengan terdiri dari laki-laki dan perempuan.
b)     Cukur Jambul
Bayi yang telah genap usianya 40 hari mengikuti acara bercukur jambul. Adat ini sama seperti adat orang Melayu dan Jawa. Bacaan berzanji bersama paluan kompang merayakan bayi yang akan dicukur kepalanya.
c)       Pencak Bawean
Pencak Bawean sering ditampilkan dalam acara hari besar seperti hari kemerdekan 17 agustus maupun acara perkawinan orang bawean. Pencak Bawean mengutamakan keindahan langkah dengan memainkan pedang. Pencak Bawean mengutamakan keindahan langkah dengan memainkan pedang yang panjang. Selanjutnya adalah Dikker, yaitu alunan puji-pujian dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW disertai dengan permainan terbang. Adapun Mandiling adalah sejenis tari-tarian disertai dengan pantun.
 

d)      Dikker
Alunan puji-pujian dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW disertai dengan permainan terbang.
e)       Mandiling
Sejenis tari-tarian disertai dengan pantun
6.      Agama
              kebanyakan suku Bawean memiliki agama islam, sedangkan non-muslim adalah pendatang
7.      Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah bahasa bawean. Dimana bahasa ini merupakan bahasa asli penduduk bawean yang memiliki kemiripan dengan bahasa Madura dan bahasa Jawa. Meskipun bahasanya yang mirip, tapi adat dan budaya sukus Bawean sangat berbeda dengan Madura. Mereka juga tidak mau disebut sebagai orang Madura karena perbedaan kebudayaan. Bahasa Bawean ditengarai sebagai kreolisasi bahasa Madura karena kata-kata dasarnya yang berasal dari bahasa ini
8.      Gender
kebanyakan pulau Bawean dihuni oleh para kaum perempuan karena para kaum laki-laki memiliki budaya merantau yang sudah turun temurun dari nenek moyang mereka. [6]
9.      Potensi pariwisata pulau Bawean
Potensi wisata pulau Bawean sangat memukau diantaranya yaitu, wisata Darata, wisata Bahari,wisata Bbudaya, wisata Kubur Jujuk Ccampa,Kubur Panjang dll[7]
10.  Rumah Bawean
Durung  
Durung suatu pondokan rumah dari kayu berbentuk panggung berukuran kecil yang biasa di bangun di depan rumah yang atapnya biasa di gunakan untuk menyimpan beras atau hasil pertanian lainnya. dan di bawah di fungsikan tempatan berkumpul,berdiskusi atau bercengkrama melepas kepenatan.

    

11.  Kerajinan

Tikar pandan dari Bawean mempunyai corak yang beragam. Tikar pandan bisa di jadikan kerajinan tas dan tempat pensil yang dapan menambah daya tarik pembeli wisatawan untuk oleh – oleh.
12.  Asal-usul Bawean di Indonesia
Veredenbergt (1990), menyatakan bahwa banyak pemuda-pemudi Bawean yang merantau ke Bandar Besar di Jawa, seperti Jakarta dan Surabaya untuk mencari pekerjaan dan Ppendidikan buakn lagi alasan ekonomi. Keinginan untuk merantau keluar negeri sudah berubah sekalipun masih idaman beberapa oarang disebabkan ikatan budaya di daerah asal dan tujuan yang telah berlangsung sejak dahulu. Kato (2005) pula menjelaskan bahwa aktivitas merantau tidak dimaksudkan semata-mata untuk menetap di Negara tujuan dan alasannya juga bukan saja ekonomi melainkan pengalaman, pengetahuan,/keterampilan, dan kemasyhuran.
Dari segi Stratifikasi sosial, pekerjaan yang paling dihargai oleh masyarakat Bawean adalah Kiyai. Pengetahuan dan kewibawaan yang dimiliki oleh kiyai telah menjadi tempat rujukan oleh masyarakat. Kiai juga berperan menjaga hal ehwal bagi masyarakat Bawean yang ingin merantau. Laki-laki dewasa yang ingin merantau akan mendapatkan nasihat serta amalan-amalan yang dipegang oleh seorang perantau. Hal ini menyebabkan kiai menjadi individu utama dalam masyarakat Bawean. Dari segi Kebudayaan, kebudayaan Bawean lebih menekan kebudayaan Islam yang dipimpin oleh kiai dan guru Madrasah seperti sambutan maulidul Rasul, Isra’ Mi’raj serta Tarekat. Dan amalan gotong royong menjadi satu sifat utama dalam masyarakat Bawean.
Bahasa Bawean dapat dipertahankan sebagai bahsa lokal sebab mereka dapat membina kawasan penempatan yang turut dikenali sebagai “Kampung Boyan”. [8]



[3] http://ubaid-boyand.blogspot.com/

[4] Bab2 Bawean.pdf, diakses pada 28 Mei 2017, pukul 10.05.

[5] http://sekubawean.blogspot.co.id/2008_06_01_archive.html


[6] http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/41530722/IDENTITAS_BUDAYA_SUKU_BAWEAN.docx?AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=1495959852&Signature=0cSShZEnhR6nmGtLWgHs6ZdJW0o%3D&response-content-disposition=attachment%3B%20filename%3Didentitas_budaya_suku_bawean.docx
[7] http://digilib.uinsby.ac.id/505/5/Bab%202.pdf
[8] http://www.ukm.my/geografia/images/upload/1x.GEOGRAFIA-april16-MUHAMMAD%20RIDHWAN-edam%20(1).pdf

1 komentar:

  1. Sayang tidak semua bagian menyebutkan sumber. Prosesi pengantin adat baweannya asyik

    BalasHapus

Mengenai Saya

kumpulan video suku bawean

Masyarakat Bawean juga terkenal dengan budaya merantau. Mereke merantau ke Bandar Malaka berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu kare...