SUKU BAWEAN
Suku Bawean
dimasukkan kedalam sub suku Jawa menurut sensus BPS tahun 2010.[1]
Masyarakat Melayu Malaka dan Malaysia lebih mengenal dengan sebutan Boyan daripada Bawean dan dalam pandangan mereka Boyan
berarti sopir dan tukang kebun (kephun dalam bahasa Bawean), karena profesi sebagian
masyarakat asal Bawean adalah bekerja di kebun atau sebagai sopir. Orang-orang
Bawean merupakan satu kelompok kecil dari masyarakat Melayu yang berasal dari Pulau Bawean yang terletak di Laut Jawa antara dua pulau besar yaitu Pulau Kalimantan di utara dan Pulau Jawa di selatan. Pulau Bawean terletak sekitar 80 mil ke arah utara Surabaya, dan masuk kabupaten Gresik.[2]
Pulau Bawean terdiri atas dua kecamatan, yaitu kecamatan Sangkapura dan kecamatan Tambak. Diponggo adalah salah satu kelurahan dari 30 kelurahan di pulau Bawean yang bahasanya
berbeda jauh dari desa-desa yang lain. Masyarakat Diponggo berbahasa semi Jawa, hal mana merupakan warisan dari seorang ulama wanita yang pernah menetap di desa itu, yaitu waliyah
Zainab, yang masih keturunan Sunan Ampel.
1.
Letak Geografis
Secara geografis
kepulauan Bawean terletak antara 112 45’ Bujur Timur dan 5 45’Lintang Selatan.
Luas wilayah sebesar 196,27 Km. kepulauan Bawean terdiri dari 2 kecamatan,
yaitu Kecamatan Sangkapura dan Kecamatan Tambak. Diameter pulau Bawean
kira-kira 12 kilometer dan jalan yang melingkari pulau ini kira-kira panjangnya
70km dan bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam. Kecamatan Sangkapura mempunyai luas
118.72 Km, dengan jumlah Desa 17 dan Kecamatan Tambak mempunyai luas 77.55 Km,
dengan jumlah Desa 13.[3]
2.
Mitologi Suku Bawean
Pada mulanya pulau ini
bernama"pulau mejeti"atau 'pulau majdi"yang berasal dari bahasa
arab yang artinya uang logam,disebut demikian karna bentuk pulau ini bulat
seperti uang logam.Tapi mengapa akhirnya bernama Bawean?ceritanya
demikian"pada masa kerajaan majapahit berada pada saat ke emasannya ia
bermaksud untuk menyatukan nusantara maka dikirimlah seluruh armadanya untuk
berlayar menuju daerah yang jauh di sana ternyata dari sekian banyak armada
yang dikirim ada yang mendapat kemalangan perahu mereka di serang badai di laut
Jawa dan akhirnya mereka yang terselamat terdampar di sebuah pulau,dari rasa
yang sangat gembira karena terselamat,tanpa sengaja terlontarlah kata dari
ketua pasukan "BA-WE-AN” yang berasal dari bahasa sansekerta
"BA" artinya sinar "WE" artinya matahari
"AN"artinya ada, yang bermaksud ADA SINAR MATAHARI.Kini mereka hidup
di pulau yang baru mereka kenal dengan penuh kebahagiaan karna baru saja
terselamat dari maut dengan nama itulah mereka menyebut pulau itu BAWEANyang
lambat laun panggilan majeti atau majdi tidak terdengar lagi[2]
Menurut sahibul hikayat,
arti dari nama Bawean secara harfiah adalah “sinar mata mentari”, sebelumnya
Pulau Bawean itu bernama Pulau Majeti, ada pula menyebut Pulau Majedi. kerajaan
Majapahit dalam upaya mencari tanah jajahan baru, pada tahun 1350 serombongan
kapal dari kerajaan tersebut sudah berbulan-bulan mengarungi samudra. Di suatu
pagi yang masih berkabut tebal mereka sampai di laut Jawa. Muncul sinar
matahari dari sebuah daratan. Kemudian mereka mendarat di daratan tersebut, di
daratan itulah mereka seakan-akan hidup kembali, karna mereka sudah
berbula-bulan mengarungi samudra. Selain itu Pulau Bawean dikenal juga dengan
nama Pulau Putri yang mengandung makna sendiri. Penamaan Pulau Putri,
sesungguhnya tidak semata mata terkait dengan jumlah penduduk Bawean, di mana
perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki, yang mana para lelaki-lelakinya
banyak yang merantau keluar negeri. Melainkan nama Pulau Putri memiliki
alur tertentu, identitas maknawi. Tetapi
menurut Ahsan warga Bawean dinamakan Pulau Putri karena para lelakinya banyak
yang merantau keluar Bawean atau keluar negeri kalau cuma bekerja di Bawean
mereka hanya cukup untuk dimakan sehari-hari bahkan tidak cukup untuk
menyekolahkan anak-anaknya dan tidak bisa memberi kepada orang tuanya, itu
alasan mereka banyak yang merantau ke luar.[4]
3.
Pernikahan suku Bawean
Pernikahan sebagai
salah satu dari fase proses kehidupan manusia, oleh manusia Bawean dianggap
sebagai sesuatu yang sakral. Pernikahan dimaknai sebagai utuhnya tanggung jawab
seorang anak dan terlepasnya ketergantungan tanggung jawab orang tuanya. Dengan
demikian usailah tugas sang orang tua dalam mengasuh, mendidik dan melindungi
sang anak.
Kegembiraan pernikahan
tersebut olah masyarakat Bawean dirayakan dan dimeriahkan sedemikian rupa
mengikuti kemampuan finansial keluarga yang punya hajat maupun status
sosialnya. Sikaya yang dipandang sebagai orang yang berstatus sosial tinggi,
tidak akan segan mengeluarkan uang yang begitu banyak demi pengakuan atas
statusnya. Bahkan tidak jarang adapula yang menyelenggarakan acara pernikahan
melebihi batas kemampuannya hingga melahirkan hutang demi mendapatkan pengakuan
dari masyarakat sebagai orang yang berkemampuan dan berstatus sosial yang
tinggi. Perayaan itu diBawean pada umumnya digelar hingga tiga hari tiga malam.
Namun pada keluarga kaya, acara pernikahan tersebut bisa saja digelar hingga
tujuh siang tujuh malam.
Perjodohan atau
pernikahan pada masyarakat Bawean masa dahulu, lebih banyak berdasarkan pilihan
orang tua. Orang tua yang memiliki anak laki-laki yang telah dianggap telah
cukup umur dan bekal untuk dinikahkan, akan mulai memilih-milih anak gadis
untuk di jodohkan dengan anak laki-lakinya. Dalam pemilihan jodoh ini selain
kondisi fisik anak gadis yang dimaksud, juga dipertimbangkan mengenai
asal-usul, keturunan, dan keadaan ekonomi keluarga bakal calon besannya.
Didalam memilih tersebut, selalu dipilihkan bakal calon yang dianggap sepadan.
Pencocokan hitungan penjodohadilakukan dengan sistem penghitungan tersendiri
berdasarkan jumlah huruf nama kedua anak tersebut, maupun berdasarkan tanggal
lahirnya. Sebelum lamaran ini dilaksanakan, diutus tetua adat kerumah mempelai
putri untuk menjajaki kemungkinan dilangsungkannya lamaran, dalam arti apakah
keluarga itu belum terikat janji dengan keluarga lain berkenaan dengan anak
perempuan yang akan di jodohkan.tahapan dalam pernikahan suku Bawean ialah
sebagai berikut :
a) Ngalamar (lamaran) tahapan ini merupakan
tahapan awal dari seluruh rangkaian prosesi pernikahan. Pada tahap ini orang
tua pijak jejaka yang terdiri dari kedua orang tua, keluarga yang dituakan, dan
lurah datang kerumah keluarga gadis yang menajdi pilihannya dengan maksud
melamar. Lamaran pihak jejaka ini dilain waktu akan dibalas oleh pihak orang
tua sang gadis mendatangi rumah keluarga jejaka. Dalam kunjungan balasan ini
jika lamaran pihak jejaka diterima, sekaligus ditentukan tanggal pernikahan dan
perhelatan yang akan di gelar
b) Selanjutnya jika lamaran diterima harus
segera melapor ke lurah, karena pernikahan nanti akan melibatkan seluruh warga.
Setelah itu ada pemilihan To’ To’a. wanita yang akan menikah harus dipingit.
c) Hari pertama
Pagi
hingga siang bersamaan dengan mamasang, muda mudi secara bergantian memainkan
musik dhungka yang merupakan pertanda sekaligus menghabarkan bahwa ditempat itu
akan ada perhelatan pernikahan. Para muda-mudi dan orang-orang tua sibuk dalam
kebersamaan gotong royong dalam mendirikan tarop, membersihkan lingkungan
sekitar rumah pengantin, menghias dan membuat pelaminan. Ibu-ibu mempersiapkan
makanan dan kue-kue untuk perhelatan ini. Seluruh aktifitas persiapan ini dalam
Bahasa Bawean disebut mamasang. Keganyangan gotong royong tersebut berlangsung
dirumah kedua pengantin.
a) Harikedua
Mamarase
yang berupa memotong bagian depan rambut yang merupakan rambut-rambut kecil
dikening pengantin putri. Pemotongan rambut ini dilakukan oleh to’a-to’a dan
juru rias. Pagi hari atau Malam harinya dilaksanakan Salamet Kabin dan Akad
nikah. Selamatan pernikahan ini dilangsungkan dirumah pengantin pria dan wanita
pada waktu yang berbeda di siang hari. Di kedua tempat tersebut mengundang
sanak famili, teman, kenalan dan warga kampung lainnya. Pada acara selamatan di
tempat pengantin wanita sekaligus dilangsungkan akad nikah dengan disaksikan
seluruh hadirin.
Sementara
selepas isya’ pengantin wanita duduk di pelaminan dengan pakaian pengantin
lengkap yang dalam bahasa bawean disebut “Panganten A’ Totongghu”. Dihadapan
pengantin wanita duduk keluarga pengantin wanita dan masyarakat yang ingin
menonton pengantin wanita. Panganten A’ totongghu ini memiliki makna sebagai
ajang mempertontonkan kepada khalayak bahwa mempelai wanita telah siap untuk
menikah. Selain itu pengantin wanita bermaksud menunggu untuk menyaksikan
hantaran berbagai perlengkapan rumah tangga dari pihak pengantin pria yang
dalam Bahasa Bawean dikenal dengan “Tolong Berang”. Ketika barang hantaran yang
terdiri dari berbagai barang keperluan rumah tangga datang yang dibawa oleh
keluarga pengantin pria, semua barang tersebut diletakkan di hadapan pengantin
wanita dan keluarganya. Barang hantaran tersebut apabila mempelai prianya
merupakan anak laki-laki termuda dan terakhir dinikahkan di keluarga tersebut,
maka barang bawaannya berupa hasil bumi lengkap, pakaian, meubel, peralatan
dapur dan lain-lain. Pada kasus semacam itu, dimasyarakat Bawean di kenal
dengan “Nga Bhungkar Sendhi”.
b) Hari ketiga (REPOTNA)
Pagi
hari dilaksanakan penyembelihan sapi 1 – 3 ekor atau lebih untuk dihidangkan
kepada undangan yang datang dalam perhelatan. Penyembelihan sapi ini di lakukan
secara gotong royong oleh pemuda dan bapak-bapak warga desa serta keluarga luas
pengantin. Jumlah hewan sapi yang disembelih menjadi salah satu nilai pristise
dan status sosial sipunyahajat.
Malam
hari A’adheng-adheng, yaitu memasak nasi dan lauk untuk acara perhelatan yang
dilakukan secara gotong royong oleh ibu-ibu baik keluarga maupun warga desa.
Sebagai hiburan pada malam itu disajikan kesenian Jibul.
c) Hari keempat
`Panganten
Matammat-tammat / Nammattaken, yang mana penganten putri membaca Al Qur’an
hingga Khatam di pelaminan rumah pengantin wanita dengan di saksikan keluarga
pengantin pria, wanita dan masyarakat pada siang hingga sore hari. Acara
khataman ini dimaksudkan sebagai uji kemampuan mambaca Al-qur’an bagi pengantin
wanita. Kemampuan dalam membaca Al-Qur’an bagi wanita Bawean menjadi prasyarat
tersendiri dan sekaligus sebagai perlambang atas muatan pengetahuan agama si
pengantin wanita. Setiap selesai pembacaan satu surat Al Qur’an, keluarga
mempelai laki-laki dan wanita memberi uang tombhuk ke wadah yang disediakan di
hadapan mempelai wanita sebagai ungkapan tingginya kemuliaan wanita yang
memiliki pengetahuan agama sebagai bekal calon ibu di dalam keluarga.
Pada
malam hari dilangsungkan panganten mole. Mempelai pria dengan pakaian pengantin
lengkap diarak dari rumahnya dengan menunggang kuda menuju rumah penganten
wanita dengan diantar oleh seluruh keluarga dan warga kampung. Iring-iringan
ini dimeriahkan dengan musik kercengan. Ibu-ibu dan perawan membawa kue-kue,
sedangkan para perjaka membawa pakaian penganten pria. Pada bagian ujung depan
iring-iringan dibawah sebatang tebu utuh dengan daunnya, yang pada bagian atas
batangnya di gantung dua buah pinang tua yang telah kuning dan seikat daun
sirih sebagai perlambang bahwa mempelai pria memiliki alat reproduksi yang
sehat dan jantan. Diantara iring-iringan tersebut terdapat tokoh adat dari
masing-masing desa yang terdiri dari tetua adat, lurah, dan mudhin serta
pendekar.
Sesampai
di depan pintu pagar masuk rumah mempelai wanita, pintu masuk ditutup oleh
keluarga mempelai wanita dengan sehelai kain. Prosesi masuk mempelai pria ini
dimulai dengan perdebatan yang tidak mencapai kata sepakat yang dalam Bahasa
Bawean di sebut memeselan. Karena tidak mencapai kata mufakat, maka terjadilah
adu pencak silat diantara kedua belah pihak pendekar pengantin (pencak parese).
Pada
malam ini dapat di katakan sebagai puncak kegembiraan pesta dari seluruh
rangkaian Upacara Adat Pengantin Bawean. Kedua mempelai naik dan duduk
bersanding berdua di pelaminan. Sementara itu diadakan berbagai acara hiburan
seperti mandiling, korcak, kercengan, hadrah, dan bhengsawen. Seluruh keluarga
dan masyarakat turut bergembira menyaksikan berbagai hiburan yang di gelar.
d) Hari kelima
Panganten
Ater Pandi. Kedua mempelai dimandikan dihalaman rumah mempelai putri dengan disaksikan
seluruh keluarga dan warga desa. Selanjutnya seluruh keluarga dan warga desa
saling siram. Acara siraman ini dimulai dengan memandikan kedua mempelai oleh
seorang modhin perempuan dengan suatu tata cara laku tersendiri dengan ubu
rampenya. Setelah selesai kedua mempelai dimandikan, maka semua keluarga saling
siram hingga basah kuyup. Keluarga dan handai tolan yang tidak hadir di tempat
tersebut di cari kerumah atau tempat kerja masing-masing untuk di siram dan
saling siram. Bahkan keluarga yang berada di rantaupun, melakukan saling siram.
Pada masyarakat Bawean yang leluhur keturunannya berasal dari suku Mandar atau
Bugis Sulawesi, apabila tidak dilangsungkan acara ater pandi, maka pengantinnya
akan kesurupan dan pingsan. Untuk menyembuhkannya cara pengobatannya adalah
dengan melaksanakan prosesi pengantin ater pandi. Sore hari atau malam harinya
dilangsungkan Panganten Maen. Kedua mempelai diarak diatas pelaminan
berkeliling desa dan menuju kerumah mempelai putra.
e) Hari keenam
Diadakan
adu pencak silat antar pendekar beserta murid-muridnya yang melibatkan hampir
seluruh pendekar pencak silat yang ada di Bawean. Adu ketangkasan seni pencak
silat ini merupakan salah satu hiburan yang banyak di gemari oleh Masyarakat
Bawean.
f) Hari ketujuh
Penganten
Nyenyereni. Keluarga pengantin putra membawa perlengkapan rumah tangga dan
sejumlah bahan makanan untuk persediaan makan kedua mempelai selama 40 hari dan
diantara orang tua saling menitipkan kedua pengantin. Hantaran bahan makanan
selama 40 hari tersebut sebagai perlambang tanggung jawab keluarga pengantin
laki-laki atas nafkah yang harus dipikul anaknya, yang mana selama 40 hari
berdasarkan petuah tidak diperkenankan untuk bekerja.
g) Hari kedelapan
Panganten
Ater Sapo. Penganten putri diantar to’a-to’a membantu pekerjaan ringan dirumah
penganten putra. Sekaligus seakan-akan memberi tahu pada keluarga penganten
putra, bahwa ia telah melaksanakan kewajiban di malam pertama.[5]
4. Identitas Suku Bawean
a)
Mata pencaharian
Mata
pencaharian orang Bawean yang berada di pulau Bawean adalah sebagai petani.
Mereka telah lama mempraktekkan pertanian tanaman padi, jagung, ubi dan
sayur-sayuran. Kelapa juga banyak ditemukan di sekeliling perkampungan mereka.
Selain itu para laki-laki yang tinggal di pulau Bawean ini, banyak yang bekerja
sebagai nelayan. Pulau kediaman suku Bawean ini juga terkenal sebagai penghasil
marmer, dan para perempuan Bawean sangat terampil dengan kerajinan tangan unik
dari daun pandan yang kemudian diolah menjadi tikar.
b)
Sistem Kekerabatan
Di pulau Bawean, mayoritas penduduknya kebanyakan perempuan,
dikarenakan para laki-lakinya sebagian besar bekerja di pulau-pulau lain. Orang
Bawean, memiliki jiwa perantau yang sudah menjadi tradisi bagi mereka, bahkan
semacam "keharusan’’ bagi para laki-laki Bawean. Menurut mereka kalau
belum pernah merantau ke tempat lain berarti belum dewasa.
Orang Bawean memiliki jiwa merantau yang sangat
kuat, sehingga mereka juga tersebar kemana-mana, termasuk ke Malaysia,
Singapore bahkan sampai ke Australia.Orang Bawean, secara ras, mirip dengan
orang Madura dan Jawa, ditinjau dari segi bahasa yang mirip. Selain itu dahulu
pulau Bawean termasuk wilayah Madura.
Masyarakat Bawean, memiliki ciri dari berbagai suku-bangsa di
sekelilingnya, mereka mendapat pengaruh budaya dari etnik Madura, Jawa, Bugis,
Sumatera dan Kalimantan. Seorang wartawan Kompas Emmanuel Subangun menuliskan
pada tahun 1976, bahwa orang Bawean adalah "Kristalisasi Keragamaan Etnik
Indonesia". Maka dari itu sistem kekerabatan bagi suku bawean bukanlah hal
yg asing , karena sifat mereka mempunyai jiwa rantau dimana mereka harus
terbiasa membaur dengan suku lain. Dan juga mereka
memiliki sifat yang sulit di atur, keras, dan
sok pinter sifat tersebut menunjukan bahwa orang bawean adalah orang yang hebat
dengan tingkat kemandirian yang lebih.
5. Budaya –
Budaya
a)
Kercengan
Kercengan
biasanya dipersembahkan sewaktu acara Perkawinan. Masyarakat Madura menyebut
nama kercengan dengan Hadrah.
Penari
berbaris sebaris atau dua baris. Pemain kompang dan penyanyi duduk di barisan
belakang. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu salawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Pemain kercengan terdiri dari laki-laki dan perempuan.
b) Cukur Jambul
Bayi
yang telah genap usianya 40 hari mengikuti acara bercukur jambul. Adat ini sama
seperti adat orang Melayu
dan Jawa.
Bacaan berzanji
bersama paluan kompang merayakan bayi yang akan dicukur kepalanya.
c) Pencak Bawean
Pencak Bawean sering ditampilkan dalam acara
hari besar seperti hari kemerdekan 17 agustus maupun acara perkawinan orang
bawean. Pencak Bawean mengutamakan keindahan langkah dengan memainkan pedang.
Pencak Bawean mengutamakan keindahan langkah dengan memainkan pedang yang
panjang. Selanjutnya adalah Dikker, yaitu alunan puji-pujian dan shalawat
kepada Nabi Muhammad SAW disertai dengan permainan terbang. Adapun Mandiling
adalah sejenis tari-tarian disertai dengan pantun.
d) Dikker
Alunan
puji-pujian dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW disertai dengan permainan
terbang.
e) Mandiling
Sejenis
tari-tarian disertai dengan pantun
6.
Agama
kebanyakan
suku Bawean memiliki agama islam, sedangkan non-muslim adalah pendatang
7.
Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah bahasa bawean. Dimana bahasa ini
merupakan bahasa asli penduduk bawean yang memiliki kemiripan dengan bahasa
Madura dan bahasa Jawa. Meskipun bahasanya
yang mirip, tapi adat dan budaya sukus Bawean sangat berbeda dengan Madura.
Mereka juga tidak mau disebut sebagai orang Madura karena perbedaan kebudayaan.
Bahasa Bawean ditengarai sebagai kreolisasi bahasa Madura karena kata-kata
dasarnya yang berasal dari bahasa ini
8.
Gender
kebanyakan pulau Bawean
dihuni oleh para kaum perempuan karena para kaum laki-laki memiliki budaya
merantau yang sudah turun temurun dari nenek moyang mereka. [6]
9.
Potensi
pariwisata pulau Bawean
Potensi wisata pulau Bawean sangat memukau diantaranya yaitu,
wisata Darata, wisata Bahari,wisata Bbudaya, wisata Kubur Jujuk Ccampa,Kubur
Panjang dll[7]
Durung
Durung suatu
pondokan rumah dari kayu berbentuk panggung berukuran kecil yang biasa di
bangun di depan rumah yang atapnya biasa di gunakan untuk menyimpan beras atau
hasil pertanian lainnya. dan di bawah di fungsikan tempatan
berkumpul,berdiskusi atau bercengkrama melepas kepenatan.
11. Kerajinan
Tikar pandan dari
Bawean mempunyai corak yang beragam. Tikar pandan bisa di jadikan kerajinan tas
dan tempat pensil yang dapan menambah daya tarik pembeli wisatawan untuk oleh –
oleh.
12.
Asal-usul
Bawean di Indonesia
Veredenbergt (1990), menyatakan bahwa banyak pemuda-pemudi
Bawean yang merantau ke Bandar Besar di Jawa, seperti Jakarta dan Surabaya
untuk mencari pekerjaan dan Ppendidikan buakn lagi alasan ekonomi. Keinginan
untuk merantau keluar negeri sudah berubah sekalipun masih idaman beberapa
oarang disebabkan ikatan budaya di daerah asal dan tujuan yang telah
berlangsung sejak dahulu. Kato (2005) pula menjelaskan bahwa aktivitas merantau
tidak dimaksudkan semata-mata untuk menetap di Negara tujuan dan alasannya juga
bukan saja ekonomi melainkan pengalaman, pengetahuan,/keterampilan, dan
kemasyhuran.
Dari segi Stratifikasi sosial, pekerjaan yang paling dihargai
oleh masyarakat Bawean adalah Kiyai. Pengetahuan dan kewibawaan yang dimiliki
oleh kiyai telah menjadi tempat rujukan oleh masyarakat. Kiai juga berperan
menjaga hal ehwal bagi masyarakat Bawean yang ingin merantau. Laki-laki dewasa
yang ingin merantau akan mendapatkan nasihat serta amalan-amalan yang dipegang
oleh seorang perantau. Hal ini menyebabkan kiai menjadi individu utama dalam
masyarakat Bawean. Dari segi Kebudayaan, kebudayaan Bawean lebih menekan
kebudayaan Islam yang dipimpin oleh kiai dan guru Madrasah seperti sambutan
maulidul Rasul, Isra’ Mi’raj serta Tarekat. Dan amalan gotong royong menjadi
satu sifat utama dalam masyarakat Bawean.
Bahasa Bawean dapat dipertahankan sebagai bahsa lokal sebab
mereka dapat membina kawasan penempatan yang turut dikenali sebagai “Kampung
Boyan”. [8]
[3] http://ubaid-boyand.blogspot.com/
[6] http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/41530722/IDENTITAS_BUDAYA_SUKU_BAWEAN.docx?AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=1495959852&Signature=0cSShZEnhR6nmGtLWgHs6ZdJW0o%3D&response-content-disposition=attachment%3B%20filename%3Didentitas_budaya_suku_bawean.docx
[8] http://www.ukm.my/geografia/images/upload/1x.GEOGRAFIA-april16-MUHAMMAD%20RIDHWAN-edam%20(1).pdf
Sayang tidak semua bagian menyebutkan sumber. Prosesi pengantin adat baweannya asyik
BalasHapus