Suku
Mentawai
Suku Mentawai tinggal
di kepulauan Mentawai yang terletak sekitar 100 km di sebelah barat pantai
Sumatera, yang terdiri dari 40 pulau besar dan kecil. Ada empat pulau besar
yang didiami manusia yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan.
Beberapa hipotesis diajukan untuk menjelaskan asal-usul genealogi suku
Mentawai. Neumann misalnya menggolongkan suku Mentawai dalam golongan Melayu
Polinesia. Bangsa Polinesia sejak dahulu mendiami pulau Sumatera. Namun
kedatangan bangsa 1 Disarikan dari buku karangan Stefano Coronese, Kebudayaan
Suku Mentawai, Penerbit PT Grafidia Jaya, Jakarta 1986, 1-13. 2 Melayu
menyebabkan mereka terusir dan menyingkir ke pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Budaya
Masyarakat suku Mentawai
Mayoritas orang-orang
suku Mentawai memeluk agama Katolik, dan sebagian beragama Protestan, dan
Islam. Namun demikian, sebagaian penduduk Mentawai masih tetap memegang teguh
religinya yang asli, yaitu Arat Sabulungan. Arat berarti adat, Sa berarti
seikat dan bulungan berarti daun. Mereka menyebutnya Arat Sabulungan karena
dalam setiap acara ritualnya mereka selalu menggunakan daun-daun yang dipercaya
dapat menghubungkan manusia dengan Sang Maha Kuasa atau disebut sebagai Ulau
Manua (Tuhan). Pada dasarnya Arat Sabulungan mengajarkan keseimbangan antara
alam dan manusia. Kepercayaan itu mengajarkan bahwa manusia harus memperlakukan
alam, tumbuh-tumbuhan, air, dan binatang seperti dirinya.2 Menurut Arat
Sabulungan daun atau lebih luasnya lagi pohon atau hutan merupakan tempat bersemayam
bagi para dewa-dewa yang harus dihormati. Secara khusus, penguasa Hutan menurut
kepercayaan suku Mentawai adalah Taikaleleu. Dialah yang memberikan hasil-hasil
hutan bagi kelangsungan hidup mereka. Hidup suku Mentawai menyatu dengan Hutan.
Merusak Alam dan berburu secara liar diyakini dapat mendatangkan bencana bagi
kehidupan suku Mentawai misalnya bencana alam, wabah penyakit. Maka setiap
adanya disharmoni ini perlu diadakan semacam ritus pemulihan.
Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh masyarakat suku bangsa Mentawai adalah Arat
Sabulungan yaitu suatu fariasi dari kepercayaan tentang berbagai kesaktian yang
dimiliki oleh roh nenek moyang atau ketsat. Dalam konsep kepercayaan agama
mereka dikenal dalam beberapa nama yang berhubungan dengan kegaiban seperti
Simagre yaitu roh yang menyebabkan orang hidup; Sabulungan yaitu roh yang
keluar dari tubuh terkadang dianggap keluar sebentar (misalnya ketika sedang
terkejut). Tetapi ada juga roh yang tidak pergi jauh dari tempat tinggal
manusia seperti di bumi, dalam air, udara pepohonan besar, di gunung, di hutan
dan sebagainya. Bahkan didalam uma terdapat satu roh penjaga yang disebut kina.
Selain itu masyarakat juga meyakini bahwa roh jahat yang kerjanya menyebarkan
penyakit dan mengganggu
manusia, roh ini disebut sanitu. Sanitu berasal dari roh manusia yang matinya
tidak wajar (Jawa; gentayangan) seperti mati bunuh diri, dibunuh, kecelakaan
(misalnya jatuh dari pohon) dan mati karena sakit yang tak kunjung sembuh.
Tata krama suku mentawai
Tatakrama adalah adat
sopan santun yang berlaku sekaligus menjadi ciri khas bagi masyarakat
pendukungnya, disamping itu tatakrama juga merupakan pola pengaturan dalam
interaksi atau pergaulan. Sehingga untuk mendekati sesuatu masyarakat maka
mempelajari tatakramanya terlebih dahulu adalah merupakan hal yang penting
supaya orang dari luar komponen masyarakat itu dapat diterima dengan baik dan
dapat menjalani suatu hubungan. Tindakan ini dapat disebut tindakan persuasive
yaitu pendekatan melalui pemahaman budaya, adat istiadat dan pola piker
masyarakat tersebut.
Namun demikian ada
satu hal yang patut menjadi perhatian dalam tatakrama Mentawai ini yaitu bahwa
hal mendasar bagi mereka adalah adanya pandangan bahwa manusia dan alam adalah
sama dalam arti keduanya harus mendapat perlakuan yang sama. Manusia butuh
makan, minum, perhiasan, ketenagaan, keserasian dan keindahan maka alampun
demikian halnya. Jiwa manusia akan pergi yang menyebabkan manusia itu sakit
bahkan meninggal dunia, jiwa alampun akan merana dan tidak peduli kepada mereka
jika kepada alam tidak diperlakukan sama, maka harus ada pengorbanan dan
sesembahan kepada alam.orang suku Mentawai akan menganggap Guntur, petir yang
menyambar, banjir yang tiba-tiba dating, angin kencang yang bergemuluh dan
seluruh gejala alam yang demikian mencekam, merupakan tetanda bahwa
ada sesuatu yang kurang pada pelayanan kepada alam atau telah ada sesuatu yang
dianggar (hal ini biasanya diketahui oleh sikerei setelah
melakukan hubungan gaib dengan roh penguasa alam)
Terkadang ditafsirkan sebagai sikap takzim, sikap
memberikan penghargaan ataupun sikap memuliakan terhadap orang yang dihadapi.
Kemudian untuk semua itu badan kita akan memberikan reaksi sebagai sikap
menghormat dengan menggerakan seperti menganggukan kepala, menunduk atau
membungkuk. Di lingkungan feodalistis sikap ini lebih jelas lagi karena selain
menunduk disertai dengan duduk bersipuh dan dua tangan dirapatkan di sekitar
wajah.
Sikap
menghormatpun tidak ada yang berlebihan. Tanpa perlu mengangguk apalagi
menunduk dan membungkuk, cukup dengan menoleh sambil mengucapanaloita Apalagi
ditambah senyum sudah merupakan tatakrama menghormat yang berlaku umum.
Jadi
bisa disimpulkan bahwa bagaimanapun tingkat status seseorang tatacara menghormatinya
sama baik antara pemuda kepada yang lebih tua maupun yang sebaya.
Uniknya lagi adalah bahwa mereka pantang menyebut nama
termasuk mereka yang sebaya, karena sebuah nama bagi mereka adalah sesuatu yang
sacral.
Kehidupan sehari-hari suku Mentawai
Suku Mentawai hidup terikat dengan aturan adat.
Salah satu aturan adat yang selalu mereka jalankan yakni Arat
Sabulungan. Arat berarti adat,
sementara Sabulungan bermakna daun. Jika diartikan, Arat
Sabulungan mengatur kehidupan suku Mentawai untuk menghormati dan menjaga daun.
Berdasarkan ajaran leluhur Mentawai, daun diyakini sebagai tempat bersemayamnya
dewa hutan, dewa gunung, dewa laut, serta dewa air.
Suku Mentawai juga
meyakini daun menjadi penghubung antara Sang Pencipta dengan manusia.
Begitu kuatnya kepercayaan suku Mentawai terhadap
kekuatan daun, pantang bagi keturunan suku Mentawai untuk merusak hutan. Mereka
dilarang untuk menebang hutan sembarangan.
Untuk memasak, mereka hanya diperbolehkan mengambil
ranting pohon yang telah jatuh ke tanah. Jika melanggar, mereka akan mendapat
sanksi adat. Bahkan mereka percaya, jika
merusak hutan, musibah dapat menghampiri kehidupan
masyarakat Mentawai.
Hutan menjadi tempat
utama bagi kehidupan suku Mentawai. Mereka mendirikan Uma atau rumah di dalam
hutan. Di dalam hutan itu pula, mereka mencari hewan buruan untuk dimakan.
Monyet, babi hutan, serta kelelawar menjadi sasaran rutin bagi suku Mentawai.
Jika dibandingkan dengan jenis hewan lainnya, suku Mentawai menganggap monyet
sebagai hasil buruan yang paling berharga.
Ketika
ada warga
berhasil mendapat buruan monyet, mereka akan
memanggil anggota keluarga serta kerabat lainnya
untuk ikut menikmati monyet tersebut. Membagi rata hasil buruan dan harus
dihabiskan tanpa sisa menjadi kewajiban bagi Suku Mentawai. Mereka
percaya, jika ada hasil buruan yang tidak dihabiskan ketika itu
juga, malapetaka akan menimpa seluruh keluarga. Jenis hewan yang pantang untuk
diburu adalah anjing. Mereka menganggap, membunuh dan memakan anjing merupakan sebuah pelanggaran
adat. Bagi mereka, anjing merupakan hewan kesayangan
yang hanya boleh untuk dipelihara bukan untuk dimakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar