Agama
Tradisional Orang Lombok
A. Sejarah
perkembangan kepercayaan Waktu-Telu
1. Sejarah
Kepercayaan Watu-Telu
Aliran Waktu-Telu adalah salah satu bentuk faham dalam Islam yang
Khas dan hanya terdapat di Lombok. Di beberapa wilayah di Indonesia ada pula
yang menjalankan praktek ajaran Islam sebagaimana di lakukan di Lombok itu,
tapi tidak pernah disebut sebagai Waktu-Telu.
Pengertian
dan Asal-Usul Istilah
Waktu-Telu didefinisikan secara berbeda-beda, sesuai dengan penafsiran
masing-masing kelompok. Diantaranya sebagai berikut:
a) kelompok Islam Waktu-Telu sendiri member
batasan sebagai ‘’ proses kejadian makhluk di alam semesta’’.
b) seorang
pakar dari belanda menyebut Waktu-Telu sebagai bentuk kepercayaan zaman majapahit
yang terkena pengaruh ajaran Islam.
c) menurut
kenyataanya, Waktu-Telu adalah sekelompok masyarakat Islam yang belum
menyempurnakan syariat atau ajaran agamanya.
Waktu-Telu seringkali di sebut sebagai Wetu-Telu ( wetu yang
berarti waktu, dan Gamel-telu berarti pegangan) dan Metu-Telu berarti keluar.
Islam yang sepenuhnya bisa diterima baik oleh masyarakat asli.
Sejak saat itulah muncul pertentangan-pertentangan antara masyarakat yang belum
menyempurnakan ajaran agama Islam dengan papara mubalig Islam. Tahun 1895,
Lombok jatuh ke penguasa Belanda, yang memecah belah karena melihat fanatisme
keislaman yang dianut oleh masyarakat Lombok. Dengan pertentangan yang semakin
sengit Watu-telu memperkuat fahamnya dengan mengambil pusat pergerakan. perkembangan
berikutnya dari tahun 1945-1955 bisa dikatakan statis. Di tahun 1955 faham
Islam dalam Watu-Telu mulai terlibat dalam politik. Tahun 1955-1965, para
pengikut faham Islam bisa dikatakan vakum.
2. Pendiri
dan Tokoh-Tokoh Kepercayaan Watu-Telu
Menurut
penejelasan pendiri pengurus persatuan Islam Waktu-Telu di kejaksaan tinggi
Nusa Tenggara Barat di mataram.
a) Pada
waktu yang tidak diketahui, datang seorang utusan bernama pangeran Gusti Ngurah
dari Jawa Tengah. Pangeran gusti ngurah ini dating dari Lombok dengan membawa
dua buah al-Qur’an yang dipikul dengan kayu jarak.
b) Beberapa
tahun kemudian datang lagi seorang utusan lain bernama Gempa Agung. Kedatangan
Gempa Agung di Lombok, untuk mencari pangeran Gusti Ngurai. Akan tetapi Gusti
Ngurah tidak ada, maka Gempa Agung tinggal di Lombok dan mengajarkan Islam kepada para penduduk.
Yang di anggap bagian pendiri Islam Waktu-Telu di Bayan adalah Ratu
Emas Pahit sebuah ulun yang disebut Wong Mu’min. dalam penyebaran agama Islam
ia berpedoman pada sumebr Islam yang Hakiki, yakni al-Qur’an dan Hadis, tetapi tidak memberantas
adat yang berlaku di Lombok. Adapun Tokoh-tokohnya yaitu: Raden
Singadriya, seorang tokoh adat yang
besar di daerah Bayan Lombok Barat, bagian utara. Menurut keterangan yang diperoleh kejaksaan
Negeri Mataram, Penang, Raden sigadria berasal dari Masyarakat Biasa, Datu Sukowati, Lalu Badriai, alias Manik Irmansyak, Mamiq Murti , Raden Sueno, SH, Lalu Andaka, Aja, Lalu Jdied.
B. Pokok-Pokok
Kepercayaan dan Upacara Keagamaan
Pada prinsipnya bentuk ritual Wetu Telu dapat disederhanakan ke
dalam dua bentuk perwujudan yaitu:
1. Penghormatan
Terhadap Roh
Keyakinan komunitas Islam Wetu Telu adalah percaya kepada makhluk
halus yang bersemayam pada benda mati atau benda tertentu atau memiliki
kekuatan tetapi tunduk di hadapkan kekuatan Tuhan.
Untuk penghormatan terhadap leluhur yang terdahulu mereka
memperlakukannya secara berlebihan. Mereka beranggapan bahwa kuburannya sebagai makam keramat sedangkan
dari kelompok-kelompok yang terakhir mereka kuburkan di pemakaman biasa.
2.
Penyelenggaraan Upacara Tertentu
a) Perayaan
Hari besar Islam
Besar Islam dilaksanakan secara rutin oleh masyarakat Islam Wetu
Telu. Perayaan-perayaan tersebut dilakukan untuk mengenang kembali dan
mengambil nilai-nilai yang positif.
Adapun
bentuk-bentuk upacara Islam Wetu Telu seperti :
1) Roah
Wulan dilaksanakan pada bulan Sya’ban
2) Selamatan
Qunut dilaksanakan pada bulan Ramadhan
3) Maleman
Likuran dilaksanakan pada bulan Ramadhan
4) Malaman
Fitrah dilaksanakan pada bulan Ramadhan
5) Lebaran
Topat dilaksanakan pada bulan Syawal
6) Qulhu
Sataq dilaksanakan pada bulan Syawal
7) Selamatan
Bubur Putiq dilaksanakan pada bulan Syafar
8) Selamatan
Bubur Abang dilaksanakan pada bulan Syafar
9) Ngangkat
Syare’at Maulud dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal
10) Teq
Berat Isra’ Mikraj dilaksanakan pada bulan Rajab.
b) Upacara
Peralihan Individu
Upacara Peralihan Individual dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur
dan berharap akan menemukan perjalanan hidup yang lebih baik. Perjalanan hidup
yang dimaksudkan adalah perjalanan ketika masih hidup di dunia maupun di
akhirat kemudian.
Upacara yang terkait dengan seseorang atau individu yang
dilaksanakan pada waktu masih hidup disebut gawe urip sedangkan upacara ritual
yang dilaksanakan setelah orang tersebut meninggal dunia disebut gawe pati.
· Gawe Urip: Buang au (upacara kelahiran),
ngurisang (potong rambut), molang malik, ngitangan (sunatan), merariq, merosok
(meratak gigi), saur sesangi (memenuhi sumpah), rowah bale.
· Gawe Pati: Selamatan nyusur tanaq
(pemakaman), nelung (ritual hari ketiga), miituq (ritual hari ketujuh), nyiwaq
(ritual hari kesembilan), matang puluh (ritual hari keempat puluh), nyatus
(ritual hari keseratus), nyiu (ritual hari keseribu), naonin (ritual pada hari
kematian) selamatan mengasuh.
c) Upacara Siklus Tanam
Banyak ritual yang dilakukan pada waktu melangsungkan proses
menanam suatu jenis tumbuhan yang disebut adat bonga padi. Upacara ini
dilakukan sebagai rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa dan berharap agar
segala sesuatu jerih payah pada waktu menanam dapat lebih bermanfaat. Prosesi
atau ritual ini merupakan salah satu bentuk aplikasi masyarakat Islam Wektu
Telu dalam Pengelolaan sumber daya alam.
Bentuk-bentuk upacara adat seperti itu disebut adat bunga padi.
Adat tersebut dilakukan pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan musim tanam
atau kalender yang telah ditentukan dalam sistem penanggalan. Adapun
bentuk-bentuk adat bonga padi antara lain : Ngaji makam turun bibit, ngaji makam
tunas setamba, ngaji Makam ngaturang ulak kaya, nyelametang pare, ngaji
ngrangkep, rowah samba, rowah gelang, selametang kuta (lawang Desa).
C. Konsepsi
Kepercayaan Islam Wetu-Telu
Cara berfikir penganut islam waktu telu itu masih sangat sederhana,
barangkali karena struktur masyarakatnya yang terisolir dan tidak mudah
menerima pengaruh dari luar, apabila jika menyangkut adatistiadat dan agama
yang mereka terima dari nenek moyangnya. Sifat gotong royong dan sifat social
masih melekat kuat pada diri mereka.Ini terlihat pada beberapa praktek
kehidupan mereka seperti:
1. Melakukan
perbaikan rumah atau membangun rumah baru, harus dikerjaka nsecara gotong
royong.
2. Aneka
bercocok tanam di sawah dan lading dikerjakan secara gotong royong.
3. Pemberian
makanan kepada pengemis atau salah seseorang tetangga yang kelaparan didasarkan
bukan karna kelebihan makanan, tetapi membagi makanan yang ada meskipun makanan
tersebut belum dapat mencukupi kebutuhan sendiri.
4. Segala
sesuatu yang mereka miliki merupakan titipan tuhan semata yang tidak boleh
mereka sayangi dan cintai melebihi sayang dan cinta mereka kepada tuhan.
5. Semua
harta benda yang mereka miliki seakan-akan merupakan milik bersama.
Sifat-sifat
dan norma tersebut disebutnya sebagai ajaran agama nenek moyannya yang kemudian
diwariskan kepada mereka yang harus ditanamkan pada jiwa dan kehidupan anak cucunya.
D. Interaksi Kepercayaan Orang Lombok dengan
agama-agama lain
Masyarakat terdiri atas orang yang saling berinteraksi dan berbagi
budaya bersama. Masyarakat mutlak harus ada bagi tiap individu sebab ia
merupakan pusaran tempat nilai-nilai, barang-barang. Atau pun peralatan untuk
hidup diperoleh. Juga individu mutlak harus ada bagi tiap masyarakat oleh sebab
lewat aktivitas dan kreasi individu lah seluruh nilai material suatu peradapan
diperoleh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar