Agama
Tradisional Orang Samin
A. Asal-Usul Masyarakat Samin
Masyarakat
Samin adalah sebuah kelompok masyarakat yang terdapat di Blora, sebuah daerah
yang berada di kawasan Provinsi Jawa Tengah. Masyarakat Samin memiliki
kepercayaan, adat istiadat dan norma-norma tersendiri yang berbeda dengan masyarakat
di Jawa pada umumnya. Mereka hidup berkelompok bersama di luar masyarakat umum,
seakan-akan membentuk suatu komunitas.
Ada dua pendapat menganai asal kata “Samin”. Pertama, nama Samin
berasal dari arti kata Samin itu sendiri, yaitu kata yang ditasbihkan dari nama
seorang tokoh bernama Samin Surosentiko yang berpengaruh dan membuat sebuah
gerakan pemberontakan terhadap pemerintah. Pendapat kedua, Samin berasal dari
dari kata “sami-sami” yang berarti sama-sama. Kata ini merujuk pada konsep
ajaran yang mengedepankan bahwa semua manusia itu sama, memiliki kedudukan yang
sama, hak dan kewajiban yang sama karena semuanya beasal dari keturunan yang
sama, yakni Nabi Adam.
Ajaran Samin atau Saminisme disebarkan oleh seorang petani yang
bernama Samin Surasentiko atau Surantiko Samin, disebut pula Surontiko Sami.
Para pengikut yang mengkultuskannya mengatakan bahwa Surosentiko Samin adalah
“Wong Tiban” atau orang yang tidak diketahui dari mana datangnya dan kemana
perginya. Bahkan di antara pengikutnya ada yang beranggapan hingga kini Surosentiko
Samin masih hidup.
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran, yaitu: tidak
bersekolah, memakai "iket", yakni semacam kain yang diikat di kepala,
tidak berpoligami, tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana
selutut, dan tidak berdagang karena bagi mereka berdangang menimbulkan sikap
ketidakjujuran dan tidak baik.
Pokok
ajaran Samin adalah sebagai berikut:
1. Agama
adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, oleh
karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Jangan
mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan suka
mengambil milik orang.
2. Bersikap
sabar dan jangan sombong.
3. Manusia
hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan hanya
satu, dibawa abadi selamanya. Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal
tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
4. Bila
berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur, dan saling menghormati. Berdagang
bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan terdapat unsur
“ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.
B. Pandangan
Hidup, Kepercayaan dan Ajaran Orang Samin
1. Agama
Agama menurut orang Samin berarti “gaman” (senjata), yaitu “gamane
wong lanang”. Mereka sering mengatakan “aku iki wong, agamaku Adam, jenengku
lanang. Adam itu pengucapku”, dari Adamlah asal hidup dan mati, dan segalanya
bersumber pada Dia.
Masyarakat
Samin, generasi tua khususnya, cenderung masih sangat kuat memegang
prinsip-prinsip ajaran Samin, sehingga dalam pemahaman keagamaan mereka tidak
menganut agama tertentu. Mereka memandang agama sebagai arti kepercayaan dan
keyakinan semua sama, yang berarti semua agama itu baik. Pemikiran ini
bersumber pada suatu pendirian bahwa manusia adalah sama saja, tidak ada
perbedaan, karena sama-sama makhluk hidup yang mempunyai tujuan yang sama pula.
Konsep agama Adam ini tidak ada sangkut pautnya dengan agama pewahyuan
karena agama Adam ini mutlak dari pemikiran dan ide dasar orang tua terdahulu
secara turun-temurun.
2. Manusia
dan Kehidupan Alam Dunia
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif,
mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak
pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang
cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu
sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani
tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan
(tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu
penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis
atau tidak tergantung pada pemakainya.
Mereka mencintai alam dan memperlakukannya dengan baik. Hanya
mengambil kayu untuk kayu bakar dan tidak mengeksploitasi secara berlebihan.
Kemana-mana mereka suka jalan kaki, walaupun jarak yang ditempuh cukup jauh.
C. Upacara
Keagamaan Masyarakat Samin
1. Upacara
Kelahiran
Kelahiran menurut masyarakat Samin adalah
sesuatu hal yang dianggap biasa saja. Masyarakat Samin juga mengenal brokohan
bancakanmbel-mbel yang dibagi-bagikan kepada tetangga dinamakan
mbrokohiturunan. Kemudian setelah sang bayi berusia lima hari dibuatkan juga
mbel-mbelsepasaran, lalu pada saat bayi berusia sembilan hari juga dibuatkan
mbel-mbel selapan.
Ada ritual yang dinamakan penanaman
tembuni yang dibedakan antara pria dan wanita. Penanaman tembuni bagi anak
laki-laki ditanam di dalam rumah agar si anak laki-laki itu ketika dewasa bisa
membantu sang ayah dalam mencari penghasilan. Sementara itu, anak perempuan
tembuninya ditanam di luar rumah dengan harapan si anak cepat mendapat jodoh.
2. Upacara
Khitan atau Ditoreh
Masyarakat Samin sebenarnya tidak mengenal khitan atau sunat.
Mereka mempunyai pandangan, mengapa anggota tubuh yang sudah ada sejak lahir
harus dikurangi atau dihilangkan. Akan tetapi dalam kenyataan sehari-hari,
seorang anak laki-laki yang sudah menginjak masa “Adam Birahi” atau seseorang
yang sudah memasuki akil baligjuga disunat sebagai laki-laki yang beragama
Islam. Tidak ada upacara resmi dalam melaksanakan sunat atau ditoreh, hanya si
anak dibawa ke bong supit, yang disebut dengan istilah calak. Masyarakat Samin
mengatakan bahwa disunat atau ditoreh itu mengandung pengertian memperindah
alat kelamin.
3. Upacara
Perkawinan
Dalam perkawinan, ini harus didasari atas suka sama suka (pada
demen) dan tidak ada unsur paksaan. Monogami adalah prinsip dari perkawinan
mereka.
Dalam prosesi perkawinan masyarakat Samin ialah adanya masa magang,
serta tidak melibatkan aparat pemerintahan atau petugas pencatatan sipil. Cukup
dihadiri orang tua atau wali dan beberapa saksi, perkawinan sudah sah.
Perkawinan menurut ajaran Saminisme, ialah alat untuk meraih keluhuran budi
yang selanjutnya untuk menciptakan atmaja
(keutamaan) yaitu seorang anak yang mulai.
Tata cara perkawinan masyarakat Samin yaitu hidup serumah sebelum
melangsungkan perkawinan disebut juga sebagai masa magang (menunggu). Bila
keduanya sudah benar-benar bisa melakukan senggama (rukun), maka calon
pengantin laki-laki menghadap calon mertua untuk siap mengawini mempelai
perempuan.
4. Upacara
Kematian
Manusia itu tidak pernah mati, yang mati dan rusak itu adalah
jasadnya saja.
Mayat
yang akan dikubur dipelihara sedemikian rupa, seperti sebelum dikubur, kemudian
dimandukan, di bungkus dengan kain kafan,
kemudian dikubur dengan menghadap ke arah Utara Selatan, menghadap ke
Barat, kemudian diberi nisan.
D. Etika
dalam Masyarakat Samin
Masyarakat Samin akan selalu menjadi bagian dari kehidupan yang
memiliki sifat-sifat yang dekat dengan keselarasan. Praktek pengalaman ajaran
Samin yang diyakini kebenarannya pada gilirannya mempunyai implikasi yang
sangat kuat pada pembentukkan watak dan karakter mereka. Beberapa watak yang
menonjol dari mereka adalah: memegang teguh janji dan menepatinya “kukoh
janji”, jujur, sabar dan tidak suka kekerasan, ikhlas atau “nerimo”, dan santun
dalam menerima tamu.
E. Interaksi
Kepercayaan Orang Samin dengan Agama-Agama Lain
Interaksi kepercayaan orang Samin dengan masyarakat sekitar,
khususnya yang ada di desa Klopoduwur dan Sambungrejo cukup baik dan akrab,
terutama terhadap sesama masyarakat Samin dan juga terhadap agama lain dan masyarakat lain,karena ajaran Samin
menganggap semua agama yang ada dan yang dianut banyak orang adalah baik dan
kepercayaan yang dianutnya juga baik. Masyarakat Samin dalam berinteraksi
dengan sesama Samin maupun non-Samin menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Masyarakat
Samin tidak menutup diri mereka dengan masyarakat luar. Akan tetapi, dalam
melakukan komunikasi dengan masyarakat luar mereka cukup kesulitan karena
adanya sedikit perbedaan bahasa dan pemahaman. Interaksi kepercayaan orang
Samin dengan masyarakat sekitar, khususnya yang ada di desa Klopoduwur dan
Sambungrejo cukup baik dan akrab, terutama terhadap sesama masyarakat Samin dan
juga terhadap agama lain dan masyarakat
lain,karena ajaran Samin menganggap semua agama yang ada dan yang dianut banyak
orang adalah baik dan kepercayaan yang dianutnya juga baik. Bahkan dikatakan
sertiap manusia derajatnya sama, tidak boleh menilai orang lain tetapi
menilailah diri sendiri, mereka tidak mengganggu agama lain sehingga orang lain
juga tidak mengganggunya dan ajaran mereka yang paling menonjol adalah tentng
budi pekerti dan menciptakan suatu kerukunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar