Super Kawaii Cute Cat Kaoani

Minggu, 28 Mei 2017

Revisi Makalah

AGAMA TRADISIONAL ORANG DAYAK
Makalah ini disusun untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Agama-Agama Lokal

Di susun oleh kelompok 1:
Fari Ida Afandi     :11150321000005
Seftia Rahmawati :11150321000035
Sifa Fauziah          :11150321000037
Munawaroh           :11150321000040




JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum wr.wb
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya yang telah memberi kita nikmat iman, Islam, dan ihsan sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana dan tepat waktu. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dipergunakan dengan baik.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahun dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Saya menyadari segala kekurangan didalam proses pembuatan tugas ini, oleh karena itu saya meminta maaf yang sebesar-besarnya dan saya mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun agar tugas ini menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Wassalamu’alaikum wr.wb


Ciputat, 11 Maret 2017
Penyusun

Kelompok Satu






i
Daftar Isi

Kata pengantar·························································································· i
Daftar isi································································································· ii
Bab I Pendahuluan
A.      Latar Belakang Masalah········································································· 1
B.       Rumusan Masalah················································································ 1
C.       Tujuan Penulisan·················································································· 1
Bab II Pembahasan
A.      Asal-usul suku Dayak············································································ 3
B.       Mite dan Magi····················································································· 6
C.       Struktur Keagamaan············································································ 12
D.      Upacara adat penguburan····································································· 22
E.       Interaksi kepercayaan dengan agama-agama lain········································ 27
Bab III Penutup
A.      Kesimpulan······················································································· 31
Daftar Pustaka························································································ 32







ii


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
              Indonesia adalah negara dengan keragaman budaya dan suku bangsa. Dayak merupakan salah satu dari ribuan suku yang terdapat di Indonesia. Keragaman budaya lokal merupakan potensi yang besar bagi pembentukan budaya nasional. Keragaman budaya lokal inilah yang menyebabkan karakteristik budaya nasional bangsa Indonesia menjadi khas, yang membedakan dengan budaya bangsa-bangsa lain.
Dayak ini dikenal sebagai salah satu suku asli di Kalimantan. Mereka merupakan penduduk mayoritas dari pulau tersebut. Kata Dayak dalam bahasa lokal Kalimantan berarti orang yang tinggal di hulu sungai. Hal ini mengacu kepada tempat tinggal mereka yang berada di hulu sungai-sungai besar.
              Dalam pikiran orang awam, suku Dayak hanya ada satu jenis. Padahal sebenarnya mereka terbagi ke dalam banyak sub-sub suku. Perbedaan tersebut disebabkan oleh terpencarnya masyarakat Dayak menjadi kelompok-kelompok kecil dengan pengaruh masuknya kebudayaan luar. Setiap sub suku memiliki kebudayaan unik dan ciri khusus pada setiap komunitasnya.
B. Rumusan Masalah
1.        Bagaimana asal-usul suku Dayak?
2.        Bagaimana kepercayaan orang Dayak terhatap Mite dan Magi?
3.        Bagaimana struktur keagamaan dalam suku Dayak?
4.        Bagaimana upacara adat kematian dan penguburan dalam suku Dayak?
5.        Bagaimana interaksi kepercayaan orang Dayak dengan agama-agama lain?

C. Tujuan Penulisan
1.        Mengetahui darimana asal usul orang Dayak
2.        Mengetahui dan memahami kepercayaan orang Dayak terhadap Mite dan Magi
3.        Mengetahui struktur keagamaan dalam suku Dayak
4.        Mengetahui upacara adat kematian dan penguburan dalam suku Dayak
5.        Mengetahui interaksi kepercayaan suku Dayak dengan agama-agama lain
6.        Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Agama-agama lokal

D. Manfaat Penulisan
              Makalah ini diharapkan memiliki manfaat memberi pengetahuan dan wawasan kepada para pembaca dan penulis tentang Agama Tradisional Suku Dayak.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Letak gogafis
Propinsi daerah tingkat I Kalimantan Timur mempunyai luas wilayah kurang lebih 211.440 Km2 yang terletak di daerah khatulistiwa antara 11344’ bujur timur dan 11900’ bujur barat dan 4241-225 lintang utara. Sebelah selatan berbatasan dengan negara Sabah/Malaysia. Sebelah timur membentang daerah rendah sepanjang kurang lebih 500 mil menyusuri pantai Laut Sulawesi dan Selat Makasar, yang merupakan perbatasan di sebelah timur, sedangkan sebelah barat membentang dinding pegunungan Iban dan pegunungan Muller. Sebelah timur berbatasan dengan Laut Sulawesi dan Selat Makassar yang merupakan alur perhubungan transaksi untuk perdagangan Lintas Nasional dan Internasional.[1]
B.     Asal usul oang daak
Menurut para ahli, masyarakat suku-suku bangsa yang mendiami daerah pedalaman pulau Kalimantan ini berasal dari daratan Asia Tengah, yaitu di sekitar Yunan. Mereka datang dalam beberapa gelombang migrasi di jaman glasial (jaman es) sekitar 3.000 sampai 1.500 sebelum Masehi. Pada masa itu mereka menyebrang dengan mudah melalui daratan semenanjung Malaysia, Pulau Sumatera, Jawa, Kepulauan Filipina, Hainan dan Taiwan (formosa).[2] Menurut ciri-ciri bahasa dan kebudayaannya, para ahli menduga, bahwa orang Dayak di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah datang lewat Pulau Jawa, berbeda dengan arah kedatangan orang dayak Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Sementara itu salah satu bagian dari Dayak yaitu orang Murut, mungkin datang lewat Filipina dan telah terpengaruh oleh kebudayaan pertanian irigasi.
Kata dayak pada awalnya digunakan untuk menyebut penduduk asli di pulau Kalimantan. Terutama untuk membedakanya dengan masyarakat dipesisir yang umumnya memeluk agama Islam. Karena itu istilah dayak bukanlah nama kelompok etnis atau suku bangsa, tetapi lebih menekankan kepada aspek sosio-religiusnya. Kata dayak terutama dipakai oleh luar untuk menyebut penduduk pedalaman Kalimantan yang tidak beragama Islam. Masyarakat suku-suku bangsa di pedalaman Kalimantan itu sendiri lebih suka di sebut dengan orang Daya. Kata ini mungkin berasal dari bahasa Iban yang berarti “manusia”. Ada juga yang mengartikan dengan “pedalaman” atau “hulu”.[3]
Di Kalimantan Timur penduduk asli memeluk agama Islam dan sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan kerajaan dan kesultanan jaman dahulu di kenal dengan Halok atau Halo atau orang Kutai. Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah penduduk asli yang baragama Islam cenderung menggolongkan diri kedalam kelompok suku Banjar.[4]
Dayak adalah istilah umum yang pertama kali digunakan oleh para antropolog Barat untuk menunjuk penduduk asli Kalimantan yang tidak beragama Islam. Orang Dayak umumnya tinggal di pedalaman. Mitologi dayak menyatakan bahwa nenek moyang suku dayak diturunkan dengan Palangka Bulau (tanda yang suci) pada empat tempat,masing-masing adalah:
a.       Di Tahta Puruk , yang terletak di hulu Sungai Kahayan dan Barito.
b.      Di Tahta Liang Mangan Puruk Kaminting, yang terletak disekitar Gunung Raya.
c.       Di Puruk Kambang Tanah Siang, yang terletak di hulu sungai Bariton.
d.      Di datah Tangkasiang
Orang-orang Dayak yang turun di tempat-tempat inilah yang berkembang biak dan menjadi cikal bakal suku dayak yang sekarang di Kalimantan.[5] Sedangkan menurut Mikhail Coomans, asal-usul suku dayak tidak berbeda dengan asal-usul bangsa Indonesia pada umumnya. Yaitu berasal dari perpindahan melayu tua (Proto Melayu) dari daerah Yunan. Dan sebelumnya telah datang bangsa Nagrid dan Weddid di Kalimantan. Dari hasil perkawinan pendatang dengan penduduk asli itulah yang menjadi asal-usul suku Dayak di Kalimantan.
Berdasarkan hasil penelitian Niewenhuis yang dikutip oleh Cilik Riwut membagi suku Dayak ke dalam dua ciri utama, masing-masing adalah :
1.        Suku Dayak yang berkepala panjang, berdiam disepanjang sungai Kapuas yang bermuara kesebelah barat kota Banjarmasin.
2.        Suku Dayak yang berkepala bulat, termasuk di dalam suku Dayak Kahayan dan Katingan yang diambil dari nama anak sungai Kapuas, Kahayan, dan Katingan.
Sekitar lima ratus sebelum masehi menurut Mikhail Coomans berlangsung lagi suatu perpindahan besar dari daratan Asia ke pulau-pulau di Indonesia. Kelompok-kelompok ini disebut dengan “Deutro Melayu” dan kebanyakan diantaranya bermukim disekitar pantai Kalimantan. Fridolin Ukur (1974), memasukkan suku Dayak Ma’anyaan di Kalimantan Tengah dalam kelompok Proto Melayu. Sedangkan suku Banjar termasuk dalam kelompok Deutro Melayu. [6]
Mikhail Coomans menyatakan bahwa penduduk Kalimantan Tengah dapat dikelompokkan kepada dua kelompok besar, yaitu “Halo” dan “Dayak”. Nama Halo adalah sebutan dari bahasa Dayak untuk orang Dayak yang beragama Islam. Karena itu pengistilahan “Halo” dan “Dayak” adalah istilah “Sosio-Religius” bukan istilah antropologis yang membedakan suku-suku bangsa.[7]
Senada dengan pandangan demikian pula dikemukakan oleh Tjilik Riwut, yang menyatakan bahwa sebutan kata Dayak adalah sebutan umum yang berlaku di Kalimantan. Namun arti Dayak adalah istilah yang menyatakan stam-stam yang tidak beragama Islam dan mendiami pedalaman Kalimantan dan istilah ini diberikan orang-orang Melayu di pesisir Kalimantan, dengan demikian arti dayak adalah orang gunung atau orang udik.
Perbedaan-perbedaan yang bersikap diskriminatif berdasarkan agama tersebut, telah mengartikan suku Dayak sama dengan orang non muslim atau Kafir, dianggap nama ejekan yang tidak disenangi oleh orang suku Dayak sendiri. Oleh karena itu suku Dayak, tidak banyak menggunakan istilah Dayak dikalangan mereka, mereka lebih senang memberi nama menurut nama suku atau sub suku mereka sendiri, misalnya suku Kayan, suku Bahau, suku Tunjung dan lain sebagainya. istilah “Oloh” menurut bahasa Dayak Ngaju adalah orang.
C.    Mite dan Magi Orang Dayak
1.        Mite Orang Dayak
Di dalam mite orang Dayak, legenda, dan cerita-cerita rakyat itu akan ditemui berbagai macam dewa-dewa, roh-roh ghaib, kekuatan-kekuatan sakti, berbagai tata kehidupan dan sebagainya. Sikap dan pandangan hidup suku Dayak sebagian besar berdasarkan tradisi yang diwarisi dari nenek moyang. Tradisi ini meliputi doktrin dan mite dalam memberikan pedoman yang samar-samar, misalnya untuk membedakan antara dewa-dewa dan roh-roh ghaib. Roh-roh ghaib ini pun tidak berbeda dengan roh-roh para leluhur dan semuanya harus dipuja.
Untuk melihat kenyataaan-kenyataan di atas, akan dikemukakan salah satu contoh mengenai mitos orang Dayak, yaitu kepercayaan tentang kejadian alam, manusia, dan benda sakti.
Hampir disetiap suku bangsa di Indonesia ini, mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai kejadian alam dan manusia. Hal ini tidak terkecuali pada suku Dayak yang terdapat pula berbagai variasi, menurut suku dan kelompoknya masing-masing. Variasi-variasi tersebut dapat dipelajari melalui cerita-cerita atau mitologi suku Dayak, diantaranya adalah mitologi tentang Ranying Pohatora dan Peres, Batang Garing, Mandau, dan sebagainya.
a.         Cerita tentang Ranying Pohatora dan Peres
Berdasarkan mitologi suku Dayak, manusia itu diciptakan setelah Mahatalla selesai menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Setelah itu Peres datang dan mendapatkan manusia, terdiri dari pria dan wanita yang telah diciptakan oleh Ranying Pohatora dari telur yang ditemukan dalam pengembaraannya. Namun pada saat itu ciptaan Ranying Pohatora belum sempurna karena belum mempunyai nafas dan tulang.Untuk mendapatkan nafas dan tulang itu, Ranying Pohatora kembali mengembara untuk mendapatkan nafas dan tulang dari batu.
Pada saat itulah Peres datang, lalu dia membujuk Andin Ramban (istri Ranying Pohatora) agar mau memberikan nafas yang tidak kekal, yaitu nafas dari angin dan tulang dari kayu. Hal ini menurut Peres akan menguntungkan manusia itu sendiri, karena dapat hidup dan mati, kemudian hidup dan mati kembali, begitu seterusnya.
Mendengar penjelasan Peres itu maka Andin Ramban setuju, lalu mereka bekerja sama untuk menghidupkan manusia itu. Di saat mereka sedang menghidupkan manusia itu, datanglah Ranying Pohatora, dia tidak dapat marah karena diantara mereka ada istrinya sendiri. Meskipun manusia saat itu sudah mempunyai nafas dan tulang itupun belum sempurna, karena belum memiliki gigi, kuku, dan rambut. Dengan jiwa besar Ranying Pohatora menyempurnakan wujud manusia tersebut.
b.        Tentang Batang Garing
Cerita ini amat populer di kalangan suku Dayak, yang mengisahkan tentang dunia yang dijadikan oleh Ranying Mahatalla Langit dan Bawing Jata Balawang Bulau. Pertama-tama Mahatalla melepaskan lawung (destar) yang terbuat dari emas dengan bertahtakan berlian lalu dilemparkannya dan dari destar itu terjamahlah Batang Garing. Tak lama kemudian pohon itu berubah dan berdaunkan segala macam permata, seperti emas, intan, berlian, dan batu-batu mulia lainnya.
Setelah batang garing terbentuk, lalu Jata melepaskan burung tinggang betina dari sangkar emasnya, kemudian burung itu terbang dan hinggap diatas pohon itu dan memakan buah pohon itu. Melihat kenyataan itu, Mahatalla melemparkan kerisnya yang bertahtakan emas dan permata. Kemudian menjelma menjadi burung tinggang jantan, yang dinamakan Tambariang lalu dia memakan buah pohon itu pula.
Kehadiaran kedua ekor burung  di atas pohon batang garing itu, menimbulkan kecemburuan dan keirian di kalangan mereka, lalu timbullah perkelahian yang cukup dahsyat dan menurut kepercayaan suku Dayak perang ini disebut sebagai “perang suci”. Akibat perkelahian ini, makin hancurlah pohon batang garing secara berkeping-keping dan dari kepingan-kepingan itulah terjadinya manusia pria dan wanita.
Selain daripada itu terjelma pula dua bahtera permata dan masing-masing mereka melayari satu.Bahtera pertama, dinamakan Putir Kahukup Bungking Garing (putri dari kepingan garing) dipergunakan oleh yang wanita. Bahtera kedua, bernama Manjamei Limut Garing Balua Unggom Tinggang (sari pohon kehidupan yang dipatahkan oleh tinggang) dipergunakan oleh pria. Akibat pertempuran itu, kedua tubuh burung itupun hancur lebur dan dari bagian-bagian tubuh itu terciptalah alam semesta, bersama dengan isi-isinya, seperti hutan, rimba, gunung, bukit, sungai, laut, dan seluruh hasil kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Setelah kedua manusia itu tercipta, keduanya lalu melakukan pengembaraan di tengah-tengah laut, sampai pada akhirnya si lelaki meminta si wanita menjadi istrinya. Si wanita bersedia menjadi istrinya dengan beberapa persyaratan:
1.        Si lelaki harus membuatkan sebuah dataran untuk tempat tinggal mereka
2.        Agar di atas tanah tersebut didirikan rumah tempat mereka hidup.[8]

D.    Mandau
Mandau merupakan senjata khas suku Dayak. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun pemiliknya pergi, mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jatidiri). Dahulu mandau memiliki mitos yang dipercaya masyarakat Dayak mengandung unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara. Mandau dipercaya memiliki tingkat-tingkat keampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan).
Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil dikayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena dikayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti.[9]
2.  Magi Orang Dayak
Suku Dayak dikenal dengan ilmu magisnya. Ilmu magis ini diperoleh dari berbagai sumber yaitu mangaji (berguru), balampah (bertapa), katuahan (keberuntungan), nupi (mimpi), minyak, dan ada yang memang memiliki ilmu magis sejak lahir. Dalam mitos suku dayak ada 5 hal yang di takuti oleh orang luar suku Dayak yaitu :
1. The Ghost Warrior (prajurit hantu)
Suku dayak mempunyai The Ghost Warrior, atau dalam bahasa Indonesia dapat di artikan prajurit hantu dan seperti itu lah yang mereka ketahui tentang suku dayak. Apa benar suku dayak mempunyai prajurit hantu? mungkin anda telah mengetahuinya siapa sebenarnya prajurit hantu ini. Ya, The Ghost Warrior is pangkalima burung atau penglima burung. Perawakan panglima burung yang masih misterius bagi masyrakat Indonesia menjadikan pangkalima burung bak prajurit hantu yang siap menyerang siapa saja yang melecehkan suku dayak untuk melindungi tanah borneo.
2. Humans With Full Tattoo (Manusia Penuh Tato)
Untuk yang kedua ini sepertinya tidak menyeramkan. Di mata dunia, tato pada suku dayak yang ada hampir menyelimuti tubuh suku dayak adalah sebuah karya seni. Sepertinya perlu di koreksi bahwa tidak semua masyarakat suku dayak mentatto seluruh tubuhnya bahkan penulis saja yang juga merupakan orang dayak tidak memiliki tatto. Tapi jika dikaitkan dengan judul tulisan ini, maka bisa saja menjadi menyeramkan jika semua suku dayak mentatto seluruh tubuhnya dan anda hidup di lingkungan dengan manusia yang semuanya penuh tatto.
3. The Deadly Sword (Pedang Mematikan)
Pedang mematikan, ternyata yang mereka maksud pedang mematikan ini adalah Mandau/Parang. Karena pedang dan mandau adalah hal yang berbeda. Pedang mematikan ini adalah pedang magis yang dapat membunuh siapapun tanpa rasa kasihan.
4. Poisonous Chopsticks (Asumpit beracun)
Selain mandau terbang, hal menakutkan suku dayak di mata dunia adalah sumpit beracun. Entah apakah sumpit beracun masih ada atau tidak untuk saat ini, namun sumpit beracun suku dayak telah menjadi sejarah tersendiri bagi masyarakat Dayak pasa masa penjajahan di masa lalu.
5. Dangerous Magic (Kekuatan Jahat)
 Suku dayak memiliki kekuatan magis yang sangat berbahaya yang menjadikan suku dayak sebagai salah satu dari 5 suku paling di takuti di dunia karena sihirnya. Sedikit berlebihan sih, tapi untuk pengingat saja bahwa tidak semua suku dayak memiliki kekuatan-kekuatan magis seperti yang ditakutkan oleh seluruh dunia termasuk Indonesia. Hanya segelintir orang dari suku dayak saja yang memiliki kekuatan seperti itu.[10]
E.  Struktur keagamaan
Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno), yang berasal dari kata “Haring” yang berarti ada dan tumbuh atau hidup, dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Pohon ini berbentuk seperti tombak dan menunjuk tegak ke atas. Bagian bawah pohon terdapat guci berisi air suci yang melambangkan Jata atau dunia bawah. Antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan. Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Bantu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi.Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas yaitu di Lawu Tatau.[11]
Kaharingan merupakan agama asli suku Dayak, yang biasa disebut dengan agama Hindu Kaharingan. Agama ini berbeda dengan agama Hindu Bali, tetapi masih merupakan bagian dari agama Hindu Dharma yang telah diakui sebagai salah satu agama di Indonesia. Agama Kaharingan memuja roh-roh ghaib, roh-roh leluhur mereka, ataupun roh-roh lainnya. Mereka juga percaya bahwa seluruh benda-benda dan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekelilingnya berjiwa dan berperasaan seperti manusia, serta adapula diantara benda-benda tersebut yang mereka percayai mempunyai kekuatan sakti.
Penamaan Hindu Kaharingan tampaknya tidaklah dimaksudkan agar mereka menyembah dewa-dewa orang Hindu Bali seperti Dewa Siwa, Brahma, Wisnu, melainkan mereka menyembah roh-roh ghaib dan roh-roh nenek moyang mereka sendiri. Demikian juga halnya suku Dayak, tidak ikut merayakan upacara-upacara agama Hindu Bali, seperti Nyepi, Galungan, Kuningan, Saraswati, dan lain sebagainya, bahkan mereka tidak mengenal sama sekali istilah Sang Hyang Widhi, yaitu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dikalangan penganut Hindu Bali. Mereka hanya mengenal Tuhan mereka adalah Ranying Hatalla Langit atau Raja Tontong Matanandu Kanarohan Tambing Kabanteran Bulau (penguasa alam atas) dan Bawing Jata Balawang Bulau (penguasa alam bawah).[12]
Agama Kaharingan percaya pada satu Tuhan yang disebut dengan Ranying Hatalla (Tuhan Yang Maha Esa). Upacara Basarah merupakan upacara sembahyang bagi umat Kaharingan yang dilakukan setiap hari Senin dan Kamis, waktunya pada sore hari yaitu di kala matahari akan tenggelam. Tempat pertemuan semacam tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Sejumlah buku suci yang memuat ajaran dan seperangkat aturan adalah:
1.  Panuturan Karak Tungkup (awal dari segala kejadian) sejenis kitab suci
2.  Talatah Basarah atau Kandayu (kumpulan doa)
3.  Tawar (petunjuk tata cara memina pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras)
4.  Pemberkatan perkawinan
5.  Buku penyumpahan atau pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan. [13]
              Menurut Koentjaraningrat, agama kaharingan memiliki empat unsur pokok yaitu :[14]
a.         Emosi keagamaan
              Emosi keagamaan ini memiliki unsur-unsur yang dapat mempertinggi emosi keagamaan atau aktifitas keagamaan yaitu yang pertama, adanya kesadaran akan makhluk-makhluk halus yang merupakan roh-roh nenek moyang mereka yang belum dibebaskan dari ikatan dunia melalui upacara tiwah. Karena menurut kepercayaan orang Dayak, orang yang sudah meninggal dan belum diadakan upacara tiwah, maka rohnya masih berada di alam dunia bahkan di sekitar kerabatnya. Kemudian setelah diadakan upacara tiwah, barulah liau memiliki tempat tinggal tetap.
              Kedua, perasaan takut akan krisis dalam hidup. Hal ini timbul akibat ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi masa-masa krisis dalam kehidupannya, misal ketika seorang wanita hamil kehilangan bayi di dalam kandungannya, tanpa tahu sebab atau akibat yang dapat dilihat.Akibatnya wanita tersebut mengalami shock berat dan mengalami pendarahan fatal yang mengakibatkan wanita itu meninggal.
              Ketiga, kepercayaan terhadap gejala-gejala alam.Gejala-gejala alam seperti banjir besar, gempa bumi, dan sebagainya tidak dapat diterangkan dan dikuasai oleh akal fikiran mereka.Seperti yang pernah terjadi di daerah Tanjung Jariangau yaitu banjir besar yang berhasil menghanyutkan rumah-rumah penduduk dan menghilangkan beberapa nyawa.Keadaan ini mendorong penduduk Tanjung Jariangau yang masih hidup untuk pindah ke desa Pemantang.
              Keempat, kepercayaan terhadap kekuatan sakti. Mereka percaya akan adanya kekuatan sakti dalam alam yang dapat menyusahkan dan menggangu hidup mereka. Tetapi kekuatan itu juga dapat dipengaruhi dan dikendalikan oleh ilmu ghaib, seperti yang digunakan oleh para balian atau dukun untuk diminta bantuannya, misal untuk menyuburan tanah pertanian, menyembuhkan penyakit, mendatangkan hujan, atau mengusir hujan.
              Kelima, adanya emosi solidaritas dalam masyarakat.Dalam hal ini yang dimaksud adalah emosi kesatuan antar masyarakat menggelora, misalnya pada masa pelaksanaan upacara keagamaan, terutama upacara tiwah.Upacara ini wajib dilaksanakan seluruh anggota keluarga, bahkan masyarakat sekeliling juga ikut terlibat didalamnya sehingga terjadi kesatuan dan persatuan antar keluarga dan masyarakat.
              Keenam, kepercayaan akan adanya dewa tertinggi. Suku Dayak percaya akan adanya dewa atau roh ghaib yang menduduki posisi tertinggi yang mendiami alam atas dan alam bawah.[15] Ada empat nama dewa atau roh ghaib yang mendiami alam atas yang menjadi sebutan orang Dayak, yaitu
a.         Bungai atau Tingang, istilah ini berasal dari nama burung yang dianggap mempunyai kesaktian. Nama ini menurut bahasa asli suku Dayak.
b.        Raja Tontong Matanandan, Kanarohan Tambing Kabanteran Bulan (Raja Penjuru Matahari, Pangeran kelengkapan Bulan. Nama ini juga menurut bahasa asli suku Dayak.
c.         Mahatara. Sebutan Mahatara mendekati istilah Hindu yaitu Maha-Batara, yang menurut istilah Suku Dayak Ot-Danum disebut Pohatora.
d.        Mahatalla, yang dalam bahasa sehari-hari disebut Hatala, Lahatala, atau Alatala. Istilah tersebut mendekati istilah Islam yaitu Allah Ta’ala.[16]
            Sedangkan yang mendiami alam bawah disebut Basuhun Bulau Rabia yang berarti sungai emas, yang mengalirkan segala kekayaan dan kebahagiaan.Roh-roh tersebut dikenal baik oleh suku Dayak. Nama lain yang biasa disebut juga oleh orang Dayak untuk roh ini adalah:
a.         Tambon, yang berwujud naga atau ular sakti yang melambangkan kelamin betina sebagai perlambang kesuburan tempat memohon berkah, misalnya untuk mendapatkan keturunan bagi orang yang belum mempunyai anak.
b.        Bawin Jata Balawang Bulau (wanita Jata berpintu permata). Dalam bahasa sehari-hari disebut Jata dan menurut istilah suku Dayak Maanyan disebut Diwata.[17]
              2. Sistem kepercayaan
            Sistem kepercayaan suku Dayak meliputi kepercayaan kepada dunia ghaib, kekuatan-kekuatan sakti, penyakit dan kematian, kehidupan sesudah mati, dan mitologi.
            Di dalam dunia ghaib ini suku Dayak percaya akan adanya makhluk-makhluk ghaib yang tidak dapat terjangkau oleh panca indra manusia dan kekuatan-kekuatan sakti yang tidak bisa dikuasai oleh manusia biasa, yang bisa hanyalah para balian, dukun, ataupun para tukang sihir. Makhluk ghaib yang sakti itu dinamakan ganan.
Berikut roh-roh yang dekat dengan kehidupan manusia yaitu :
1)    Ranying Hatalla
Merupakan sumber dari segala sesuatu yang ada dan tidak ada, yang merupakan zat pertama dan terakhir mendiami alam semesta.
2)     Jata
Merupakan zat yang diciptakan dari bayangan Ranying Hatalla di bawah langit (bumi).Jata dapat memberi berkat dan rezeki yang berlimpah kepada manusia. Jata bersama dengan Ranying Hatalla, menciptakan bumi selama 7 hari, yaitu: (a) hari pertama menciptakan bumi; (b) hari kedua menciptakan air; (c) hari ketiga menciptakan pohon atau tumbuhan; (d) hari keempat menciptakan laut atau lautan; (e) hari kelima menciptakan awan atau angkasa dan pelangi; (f) hari keenam menciptakan langit, bulan, binatang, matahari, dan segala isinya; dan (g) hari ketujuh menciptakan cakrawala langit, siang, malam, memisahkan bumi, langit, dan laut dengan segala isinya.
3)    Raja Tuntung Tahaseng
Raja Tuntung Tahaseng bersemayam di atas langit dan oleh Ranying Hatala diberi tugas untuk memperhatikan umur manusia.
4)   Janjahulung Tatu Riwut
Janjahulung Tatu Riwut bersemayam di atas langit dan bertugas untuk memperhatikan nafas manusia, dia terkenal dengan sebutan roh nafas.
5)    Gamala Tajan Tanggara
Roh ini bertugas memperhatikan nafas manusia dan dikenal juga sebagai roh angin ribut atau topan.
6)   Sangsaria Anak Nyahu Menteng
       Bertempat di langit, bertugas memelihara dan menguasai guntur dan kilat.[18]
7)   Tamanang Tarai Bulau
Tinggal di atas langit dan bertugas membantu ketiga saudaranya (Janjahulung Tatu Riwut, Gamala Tajan Tanggara, Sangsaria Anak Nyahu Menteng).
8)   Raja Mandurut Untung
Tinggal di atas langit dan bertugas memelihara, memberi dan memperhatikan rezeki manusia.
9)   Raja Pamise Andau
Bersemayam di atas langit dan bertugas menghitung-hitung hari atau waktu manusia hidup sampai meninggal dunia.
10)   Manyamai Malinggar Langit
Dia adalah seorang manusia laki-laki pertama yang hidup di muka bumi.Dia diciptakan dalam keadaan telanjang, Jata-lah yang memberinya pakaian.Dia bertugas memelihara dan menguasai segala sesuatu makhluk (binatang dan tumbuhan) yang ada di atas tanah dan segala sesuatu yang berada di bawah langit.
11)   Kamelu Baja Humat Hintan
Dia merupakan kembaran Manyamai Malinggar Langit yang memiliki tugas yang sama dengan kembarannya. Bedanya Kamelu Baja Humat Hintan adalah seorang wanita.
            Dari beberapa penjelasan mengenai roh-roh yang memiliki kemampuan dan sifat-sifat berbeda terlihat bahwa manusia terutama umat Kaharingan harus menjaga hubungan baik dengan roh-roh yang memiliki sifat baik maupun jahat. Menjaga hubungan baik dapat dilakukan melalui upacara, saji-sajian, pengorbanan, serta taat dan patuh akan anjuran maupun larangan yang berlaku sesuai adat masyarakat terutama umat Kaharingan tersebut.
             Suku Dayak juga mempercayai bahwa kehidupan di dunia merupakan kehidupan pertama dan masih ada kehidupan selanjutnya yaitu alam baka. Dengan demikian apa yang terjadi setelah manusia meninggal, kemana roh mereka akan pergi, bagaimana mencapai kehidupan dunia dan akhiratnya, serta makna dari upacara-upacara kematian yang dilakukan semuanya sesuai dengan ajaran agama Kaharingan.
3. Sistem upacara keagamaan
            Menurut kepercayaan suku Dayak, makhluk-makhluk ghaib dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (a) roh ghaib yang menduduki tempat utama, seperti Ranying Hatalla Langit, Bawin Jata Balawang Bulau, serta beberapa pembantunya; (b) roh-roh ghaib yang bersifat baik, seperti roh-roh nenek moyang mereka sendiri dan roh-roh orang yang meninggal dengan tenang atau mayat yang sudah dilakukan upacara tiwah; (c) roh-roh ghaib yang bersifat jahat merupakan roh-roh yang tidak tahu darimana asalnya, roh-roh para leluhur yang mati penasaran, dan orang-orang yang meninggal yang terlambat atau tidak dilakukan upacara tiwah. [19]
            Pengelompokkan tersebut diterapkan dalam bagaimana mereka memperlakukan roh-roh ghaib tersebut dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Misalnya saat mereka melakukan upacara penghormatan terhadap roh-roh utama (dewa-dewa), biasanya upacara ini dilakukan secara besar-besaran yang didukung oleh peralatan upacara yang mereka anggap memiliki kekuatan sakti, seperti gong, beras, dan pelaksanaan upacara pengorbanan beberapa ekor binatang besar, seperti kerbau, sai, ataupun babi. Upacara ini dilakukan berdasarkan rasa cinta, hormat, bakti, dan segan.
            Penghormatan kepada roh-roh baik, termasuk roh nenek moyang dapat dilakukan sendiri-sendiri tanpa perantara balian atau basir, dengan diikuti sajian-sajian berupa makanan.Upacara ini biasanya dilakukan sebagai ucapan terimakasih kepada roh-roh tersebut karena berkat pertolongannya, mereka terhindar dari berbagai macam mala petaka.
            Sedangkan penghormatan terhadap roh-roh jahat dilakukan berdasarkan perasaan takut, ngeri, dan memandang rendah.Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon agar roh-roh tersebut tidak mengganggu atau bisa juga mereka memberikan hukuman terhadap roh-roh tersebut atas perbuatan jahatnya.Sajiannya dalam upacara ini biasanya berupa makanan, seperti lemang, ketan, telor, dan sebagainya.[20]
4. Kelompok keagamaan
            Kelompok keagamaan dalam suku Dayak terwujud melalui adanya pelaksanaan upacara tiwah. Karena upacara tiwah ini merupakan upacara yang wajib dilaksanakan oleh semua anggota keluarga, upacara tiwah ini menjadi pendorong terwujudnya kelompok keagamaan.Dalam pelaksanaan upacara ini terjadi pertemuan antara banyak orang, baik dari semua anggota keluarga maupun orang-orang sekitar.Kesempatan itu mereka gunakan untuk melepaskan kerinduan dengan bersenda gurau dan membicarakan masalah-masalah keluarga, seperti perkawinan, warisan, dan masalah keluarga lainnya.[21]
Dengan demikian struktur keagamaan orang Dayak asli yaitu agama Kaharingan yang percaya akan adanya roh-roh ghaib, kekuatan sakti, kematian, kehidupan setelah kematian, dan kepercayaan akan tanda-tanda tertentu seperti tanda-tanda yang diperlihatkan oleh hewan, alam, mimpi, maupun lainnya. Umat Kaharingan sering mengikut sertakan balian sebagai pemimpin dan perantara dalam pelaksanaan keagamaan, misal dalam pelaksanaan upacara-upacara tertentu, sembahyang, dan kegiatan lainnya yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa.
F.       Upacara adat kematian dan penguburan
Bagi orang Dayak, orang yang mati diadakan dua macam penguburan, yaituupacara kematian biasa (ritus penguburan) dan pesta kematian yang disebut tiwah. Upacara kematian dimaksudkan untuk memimpin liau ke tempat peristirahatan sementara, yaitu Bukit Pasahan Raung. Para liau menunggu hingga diadakan upacara kedua yaitu upacara tiwah. Upacara tiwah ini tidak boleh diabaikan, karena apabila diabaikan akan mendatangkan bencana kepada keluarga yang masih hidup. Upacara ini merupakan upacara pemakanan terakhir yaitu dengan memakamkan tulang-tulang sang wafat di tempat peristirahatan tetap yang disebut sandong.[22]
a.        Benuaq
Upacara pemakaman merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan masyarakat khususnya kehidupan masyarakat Dayak Benuaq. Upacara ini tidak diperuntukan pada kegiatan keseharian, tetapi hanya dilakukan kepada orang yang sudah meninggal saja.Sebab keyakinan Kwangkey merupakan salah satu keyakinan yang mengajarkan kehidupan dengan solidaritas yang tinggi. Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Benuaq, upacara adat Kwangkey adalah ritual menghantarkan roh orang meninggal ke Lumut (alam baka/surga) dengan melakukan tari-tarian bersama tulang belulang sampai acara puncak pemotongan kerbau yang dipercaya sebagai persembahan alat trasportasi bagi roh yang sedang di doakan. Di kalangan masyarakat Benuaq  dikenal ada tiga tingkatan upacara kematian yaitu :
1.        Parepm api.
Menurut kepercayaan masyarakat Benuaq, Parepm Api merupakan suatu upacara pelepasan secara resmi keberangkatan liyau menuju lumut sedangkan kelelungan menuju teluyatn tangkir langit. Jika yang baru meninggal berjenis kelamin laki-laki, maka Parepm Api diadakan tepat pada hari ke tujuh dihitung sejak osekng dimaksukan kedalam lungun. Sedangkan bila yang meninggal Perempuan, maka upacara ini dilakukan tepat pada hari ke enam.Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Benuaq, liyau dan kelelungan laki-laki terlambat satu hari tibanya di lumut dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan karena tulang rusuk laki-laki tidak lengkap di bagian kiri.
2.        Kenyau
Upacara adat kematian pada tingkat ini, biasanya dilaksanakan selama sembilan hari sembilan malam. Meski demikian upacara ini bukan suatu kewajiban, artinya boleh tidak dilaksanakandengan alasan tertentu (faktor keadaan ekonomi).
3.        Kwangkai
Upacara adat kematian Kwangkai, biasanya dilaksanakan minimal dua tahun sesudah upacara Kenyau. Hal ini dimaksud agar tulang-belulang yang ada mudah dikumpulkan untuk dibersihkan. Tujuan utama dari upacara ini adalah mengusahakan agar para liyau dan kelelungan dapat memperoleh tempat yang lebih kokoh, indah dan nyaman (Reminim Lou Ukir Remiyap Lou Surat). Sedangkan tujuan lainnya dalah agar para kelelungan menjadi cerdik-pandai dan cerdas serta bijaksana, sehingga bila diperlukan dapat menjadi perantara manusia untuk berhubungan Nayuq Timang. Upacara adat kewangkei dapat dilaksanakan secara perorangan, namun pada umumnya secara dilaksanakan secara Sempekat (gotong royong) baik tenaga maupun biaya. Makna pesan ini biasanya mengandung makna deskriptif yaitu suatu konsep gagasan, pandangan, sikap dan atau cara-cara yang pada dasarnya menguraikan sebuah nilai-nilai dari fenomena Blontakng dan upacara Kwangkey. Kemudian menceritakannya kembali dengan membandingkan melalui literatur yang ada terhadap realita yang  menyebar di masyarakat.  
b.      Dayak ngaju
Mengenal upacara Tiwah yaitu upacara pembajaran tulang belulang orang yang telah meninggal. Setelah orang meninggal mayat terlebih dahulu di kubur dalam peti kayu yang berbentuk lesung dinamakan Raung.[23] Setelah beberapa tahun kemudian ,ketika jenazah tinggal tulang belulang kemudian dikumpulkan dan dibakar,abunya disimpan didalam bangunan kayu yang bertiang tinggi yang dinamakan Sandung (Melalatoa,1995:628).[24] Sandung dapat dibentuk dengan hiasan yang rumit dan indah, tiang-tiang kayunya digambarkan dalam bentuk patung dengan sikap statis seperti orang telah meninggal, namun masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Upacara Tiwah pada dasarnya membutuhkan dana yang mahal,oleh karena itu sering kali dilaksanakan secara besar-besaran dengan sokongan sejumlah keluarga yang luas.
c.       Dayak Maanyaan
Ritual kematian yang digelar pada hakikatnya hanyalah mengantarkan liau (jiwa) agar sampai di tempat yang dituju, yakni lewu (surge) dan agar tidak tersesat di tengah jalan. Dalam ritual dibacakan nyanyian oleh seorang balian (dukun) yang bermakna dua sisi, negative dan positif. Nyanyian negative merupakan peringatan kepada liau supaya jangan tersesat, adapun positif memperlihatkan jalan yang harus di ttempuh. Ritual kematian secara tidak langsung juga berfungsi melindungi manusia yang masih hidup dari teguran dan gangguan liau-liau yang masih gentayangan
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
a.       penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
b.      penguburan di dalam peti batu (dolmen)
c.       penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
1.        penguburan tahap pertama (primer)
2.        penguburan tahap kedua (sekunder)
Prosesi penguburan sekunder
Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
Bagi orang Dayak Maanyan, kematian tidak lebih dari perpindahan kehidupan.Ritual penguburan dianggap hanya mengantarkan jiwa orang yang meninggal ke tempat peristirahatan sementara. Sedangkan ritual pembakaran tulang akan mengantarkan jiwa  ke surga.[25]
E. Interaksi Kepercayaan dengan Agama-Agama lain
Suku Dayak adalah suku yang memiliki agama sendiri  yang disebut dengan agama kaharingan. Dimana menurut mitosnya agama ini diturunkan dari langit ketujuh oleh Ranying Mahatalla Langit. Suku Dayak memiliki lambing yang dilambangkan dengan batang haring yang memiliki arti pohon kehidupan. Pohon kehidupan ini memiliki makna filosofis keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Suku Dayak menjadikan pohon kehidupan sebagai pedoman untuk interaksi, bergaul, atau berhubungan dengan sesama manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan serta berhubungan baik antar umat beragama.
Orang Dayak awal beragama Kaharingan, tapi seiring dengan berkembangnya zaman dan terjadinya asimilasi antara orang Dayak dan  suku pendatang maka suku Dayak sendiri ada yang beragama Hindu, Budha, Kristen dan juga islam atau selain dari agama Kaharingan. Agama Kaharingan lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah menyebar luas di dunia terutama di Indonesia dan lebih dikenal luas jika dibandingkan dengan suku Dayak, maka agama Kaharingan dikategorikan ke cabang Hindu.
Bangsa Dayak yang mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan    tradisi dan budayanya masing-masing. Kemudian datanglah pedagang dari Gujarat yang beragam Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual beli barang-barang dari, dan, kepada masyarakat Dayak. Karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari, dan, ke Selat Malaka, mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi kultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai dikunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. [26]
Di masa itu sistem religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan, dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal mulai tahun 1.550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada pemerintahan Giri Kusuma yang merupakan Kerajaan Melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat. Selain itu, orang Dayak yang beragama Islam juga tersebar di Kalimantan Selatan dan Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain. Orang Dayak yang masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya dan budaya aslinya, mereka memisahkan diri untuk masuk semakin jauh ke pedalaman, beberapa masuk ke pedalaman  di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas, dan Watang Balangan..
Adapun segilintir masyarakat Dayak yang telah  masuk agama islam karena perkawinan, lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak hubungan dengan dunia luar. Pada umumnya masyarkat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku Dayak sama dengan suku Melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam (karena perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku Melayu. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah (lewat perkawinan dengan suku Melayu) ke agama Islam, agama Islam lebih identik dengan suku Melayu dan agama Kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak. Sejalan terjadinya urbanisasi ke Kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak dikunjungi pendatang, baik lokal maupun Nusantara lainnya. [27]









BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
              Kata dayak pada awalnya digunakan untuk menyebut penduduk asli di pulau Kalimantan. Terutama untuk membedakanya dengan masyarakat dipesisir yang umumnya memeluk agama Islam. Karena itu istilah dayak bukanlah nama kelompok etnis atau suku bangsa,tetapi lebih menekankan kepada aspek sosio-religiusnya. Di Kalimantan terdapat dua suku yaitu suku Banjar dan Suku Dayak. Suku Banjar identik dengan warga nya memeluk agama Islam sedangkan Suku Dayak identik memeluk agama non Islam,di Suku Dayak terdapat berbagai macam kelompok, seperti suku Dayak Benuaq, Ngaju, Manyaan, dan lain sebagainya. Dan terdapat perbedaan di antara setiap kelompok suku Dayak, seperti upacara Kematian atau pernikahan.
B. Analisa Kelompok
              Suku dayak adalah salah satu suku di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Suku dayak memiliki agama sendiri yang disebut dengan agama Kaharingan. Agama kaharingan menurut mitos suku dayak merupakan agama yang diturunkan dari langit ketujuh yang diturunkan oleh Ranying Mahatalla Langit. Suku dayak memiliki simbol yang disebut dengan batang garing atau pohon kehidupan. Batang garing ini melambangkan kedamaian kerukunan antar sesama manusia, manusia dengan makhluk lain, dan manusia dengan tuhan. Di dalam suku dayak ini sendiri terdapat banyak sekali mitologi dan magi yang mereka percayai dapat memberikan kekuatan kepada mereka dan membuat mereka menjadi kuat.







DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, hilman. Antropologi Agama. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1993
Hadiwijono, Harun. Religi Suku Murba di Indonesia. Jakarta: Gunung Mulia. 2003
Hidayah, Zulyani. Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2015
Paeni, Mukhlis. Sejarah Kebudayaan Indonesia Religi dan Filsafah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2009
Salam, Syamsir. Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2009
https://purplenitadyah.wordpress.com/2012/05/05/suku-dayak-kalimantan/ Diakses pada tanggal 28 Maret 2017 pukul 16.25 WIB
http://documents.tips/documents/makalah-suku-dayak.html Okky Rusyandi Cahya Kancana, Suku Dayak, diakses pada tanggal 11 Maret 2017 pukul 22.15 WIB
http://mirwaty.blogspot.co.id/2013/05/budaya-yang-tersembunyi-di-indonesia_11.html Mirwaty, Budaya yang Tersembunyi di Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2017 pukul 15.25 WIB
https://koekoeh.wordpress.com/2012/04/30/mengenal-suku-bangsa-dayak/ Mikhail Coomans, Manusia Daya: Dahulu, Sekarang, Masa Depan (Jakarta: Gramedia 1987) diakses 26 Maret 2017 pukul 21.48 WIB





[1] https://purplenitadyah.wordpress.com/2012/05/05/suku-dayak-kalimantan/ Diakses pada tanggal 28 Maret 2017 pukul 16.25 WIB
[2] Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1986),  hlm. 183
[3] Zulyani Hidayah, Ensiklopedia Suku Bangsa-bangsa di Indonesia(Jakarta.Yayasan Pustaka Obor Indonesia.2015), hlm. 111.
[4] Zulyani Hidayah, Ensiklopedia Suku Bangsa-bangsa di Indonesia(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), hlm. 111
[5] Syamsir Salam, MS. Agama Kaharingan Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2009), hlm. 62-66
[6] Mikhail Coomans, Manusia Daya: Dahulu, Sekarang, Masa Depan (Jakarta: Gramedia 1987) diakses 26 Maret 2017 pukul 21.48 WIB dari https://koekoeh.wordpress.com/2012/04/30/mengenal-suku-bangsa-dayak/
[7] Mikhail Coomans, Manusia Daya: Dahulu, Sekarang, Masa Depan (Jakarta: Gramedia 1987) diakses 26 Maret 2017 pukul 21.48 WIB dari https://koekoeh.wordpress.com/2012/04/30/mengenal-suku-bangsa-dayak/
[8] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), hlm. 148-150.
[9] Zakaria, Sejarah Suku Dayak, diakses pada tanggal 28 Maret 2017 pukul 16.25 WIB dari https://malieyusronzakaria.wordpress.com/tag/teori-migrasi/.
[10] https://bayuputrasly.wordpress.com/2014/12/06-hal-yang-di-takuti-dunia-tentang-suku-dayak. diakses pada tanggal 09 maret 2017
[11] Mirwaty, Budaya yang Tersembunyi di Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2017 pukul 15.25 WIB dari http://mirwaty.blogspot.co.id/2013/05/budaya-yang-tersembunyi-di-indonesia_11.html
[12] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah,(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 105-106.
[13] Mirwaty, Budaya yang Tersembunyi di Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2017 pukul 15.25 WIB dari http://mirwaty.blogspot.co.id/2013/05/budaya-yang-tersembunyi-di-indonesia_11.html.
[14] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 108.
[15] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 108-111.
[16] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 43.
[17] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 44.
[18] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 114-116.
[19] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 161.
[20] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), hlm. 162
[21] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), hlm. 167
[22] Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), hlm.66
[23] Sejarah Kebudayaan Indonesia Religi dan Falsafah, Mukhlis Paeni, 2009
[24] Untuk studi tentang Kaharingan, lihat Joseph A. Weinstock (1987).
[26] Okky Rusyandi Cahya Kancana, Suku Dayak, diakses pada tanggal 11 Maret 2017 pukul 22.15 WIB dari http://documents.tips/documents/makalah-suku-dayak.html
[27] Okky Rusyandi Cahya Kancana, Suku Dayak, diakses pada tanggal 11 Maret 2017 pukul 22.15 WIB dari http://documents.tips/documents/makalah-suku-dayak.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

kumpulan video suku bawean

Masyarakat Bawean juga terkenal dengan budaya merantau. Mereke merantau ke Bandar Malaka berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu kare...