Super Kawaii Cute Cat Kaoani

Senin, 29 Mei 2017

responding paper suku Sakai

A.    Asal-Usul Orang Sakai di Kepulauan Riau

Menurut catatan sejarah, Pada zaman pluvial di daerah tropis yang di sejajarkan oleh para ahli dengan jaman glacial di Eropa dan Amerika, nusantara (Indonesia) ini belumlah merupakan pulau-pulau, tetapi masih bersatu dengan daratan Asia. Masuk pada gelombang pertama :  adalah suku Wedoide yang mempunyai ciri khas, yang oleh para ahli di akui sebagai suku bangsa pertama yang menghuni nusantara ini.
Nama Sakai konon berasal dari huruf awal kata Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. Nama itu sesuai dengan cerminan kehidupan Orang Sakai, anak kampong yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan.
Mereka tinggal di pondok-pondok berlantai tinggi yang sederhana dan mudah dibongkar, karena sewaktu-waktu mereka siap untuk pindah ke tempat lain. Wadah-wadah untuk keperluan hidupnya kebanyakan dibuat dari anyaman rotan dan pandan, tempat air dari labu dan batang kering. Mereka belum mengenal wadah dari tanah liat (gerabah) kecuali diperoleh dari penduduk desa yang lebih maju. Peralatan besi, seperti mata tombak dan parang diperoleh dari pedagang Melayu, sebelumnya mata ditombak dibuat dari kayi yang sangat kuat. Dan keras. Alat lain untuk berburu binatang adalah jerat dan perangkap.
  1. Kepercayaan dan  Magi Orang Sakai
  1. Kepercayaan Orang Sakai
Salah satu diantara ciri-ciri yang dimiliki Orang Sakai yang juga dianggap oleh Orang Melayu, adalah agama mereka yang diselimuti oleh keyakinan pada animisme, kekuatan Magi dan tenung.

o   Tarekat Naqsabandiyah merupakan aliran dalam agama Islam yang telah berkembang berabad-abad di Riau dan di pulau Sumatra pada umumnya, dan di Riau ajaran ini berpusat di Kerajaan Siak. Tarekat Naqsabandiyah menuntut pemeluknya agar melakukan sejumlah upacara ritual di luar kewajiban-kewajiban yang dilaukannya oleh para aliran Sunnah, yang anatar lain mencakup kegiatan-kegiatan berzdikir dan Wirid, bepuasa, dan mengasingkan diri dan taat kepada guru Muryid) atau khalifah.
o   Sunnah Wal Jamaah sebetulnya belum lama dikenal dan masuk kedalam kehidupan orang Melayu di Riau, pada umumnya dan dalam kehidupan orang Melayu dan orang Sakai di Muara Basung khususnya. Aliran ini datang bersamaan dengan kedatangan orang-orang minangkabau di Riau.
  1. Magi Orang Sakai
Sabagaian besar Orang Sakai tidak terlibat dalam konflik-konflik tersebut, karena mereka tidak merasa menjadi bagian yang sebenarnya dari salah satu di antara dua aliran tersebut. Mereka masih lebih percaya kepada keyakinan  asli dari nenek moyangnya bahwa lingkungan hidup mereka dihuni oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan “antu” atau hantu (dalam bahasa Melayu). Antu itu yang baik dan ada yang jahat. Mereka tinggal dan menjadi penghuni pepohan, sungai-sungai, rawa-rawa,wilayah hutan, ladang, tempat pemukiman, rumah, dan sebgainya. Seperti halnya dengan manusia, maka antu-antu tersebut ada yang hidup dan menyendiri dan ada juga yang hidup dalam satu kesatuan masyarakat kecil dan besar atau kerajaan. Dalam konsepkebudayaan Orang Sakai kerajaan Antu berada ditengah-tengah hutan belantara yang belum pernah dirambah oleh manusia.
Bagi orang Sakai bebagai macam penyakit yang mereka derita, kemalangan, dan kematian. Sebagian besar disebabkan oleh gangguan Antu. Ketidaktakutan mereka terhadap antu-antu terutama antu kecil disebabkan oleh adanya keyakinan bahwa memang ada di alam sekeliling tempat mereka hidup dan bahwa ada mantra-mantra dan upacara ritual yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit yang disebabkan oleh Antu. Ada tiga cara pengobatan yang juga merupakan tiga tahapan pengobatan, yang biasa dilakukan oleh Orang Sakai yaitu:

a.       Cara pengobatan Uras
Apabila seorang Sakai merasakan kalau dia sakit karena gangguan antu, maka yang dilakukan adalah memberitahukan kepada anggota keluarah atau kerabatnya, kemudian pergi menemui bomo atau dukun yang ada  ditempat pemukiman mereka atau pemukiman lain, perincian dari cara pengobatan uras tersebut yaitu cincin perak tersebut dikembalikan oleh dukun kepada keluarga si sakit dan sebagai gantinya dia meneriam uang Rp 1.000. Dukun memberi mantra yang harus dibaca atau diucapkan oleh si sakit. Kemudian memberikan resepnya kepada keluarga si sakit yang terdiri atas:
(1)       Daun-daunan dari pohon yang ditumbuh di hutan, seperti daun belum bangun, daun anuti, daun papaga, dan daun ibu-ibu.
(2)       Bahan-bahan dari padi, di antaranya: padi ketan yang digoreng sangan sampai kulitnya terkelupas; beras basah; beras rendang atau beras yang digoreng sangan; dan beras kunyit atau beras yang direndam di dalam air kunyit.
(3)       Makanan yang terdiri dari nasi ketan kuning dan sebuah telur rebus.
(4)       Lilin yang terbuat dari damar
Pengobatan ini dilakukan pada malam hari , yaitu setelah matahari terbenam. Lilin dinyalakan semalam suntuk di dekat tempat si sakit tidur, dibagian kepala dan bagian kaki, dan didekat tempat lilin-lilin menyala tersebut, ditaruh sesajian yang terdiri atas beras-berasan. Makanan dimakankan kepada si sakit dan anggota keluarga atau juga si sakit itu membacakan doa. Cara pengobatan Urus ini berlangsung selama tiga malam. Pada siang hari lilin dimatikan.
  1. Cara pengobatan Jungkul
Cara pengobatan Jungkul. Proses pengobatan cara Jungkul adalah sebagai berikut: keluarga meminta dukun untuk mengobati si sakit dengan cara menyerahkan sebuah cincin perak. Cincin ini dinamakan “cincin serah”. Cincin ini kemudian dipakaikan di tangan si sakit sebagai gelang dan diikat dengan tali. Setelah dipakaikan pada si sakit, cincin ini berubah sebutan menjadi “cincin semangat”. Artinya, cincin yang berisi kekuatan yang dapat mengusir hantu yang mengganggu si sakit. Cincin tersebut tidak boleh lepas dari pergelangan tangan si sakit, sebab kalau cincin tersebut sampai lepas, maka penyakit yang diderita si sakit akan bertambah parah. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam pengobatan Jungkul adalah sebagai berikut:
(1)    Anyam-anyaman yang terbuat dari daun janur kuning dan dari kayu asam paya untuk membuat bangunan yang menyerupai rumah, kapal, atau istana. Bentuk bangunan ini dibuat sesuai dengan permintaan hantu yang disampaikan melalui dukun.
(2)      Obor besar yang dinyalakan waktu menghadap raja hantu yang menguasai dunia hantu.
(3)    Beras rendang, beras kuning, dan beras basah.
(4)    Nasi ketan kuning dan telur rebus.
(5)      Daun-daunan dari hutan yang sama jenisnya dengan yang digunakan saat pengobatan  Uras.
c.       Cara pengobatan Zdikir.
pengobatan dengan cara zdikir. Cara pengobatan zdikir berlangsung selama tiga malam dan menggunakan bahan-bahan yang sama dengan yang digunakan pada saat pengobatan Jungkul, namun dilengkapi dengan alat-alat tetabuhan. Bedanya, kalau dalam pengobatan Jungkul si dukun melakukan pengobatan dengan duduk bersila, maka dalam pengobata zdikir si dukun dengan cara menari-nari di sekitar si sakit dengan diiringi bunyi-bunyian dari alat-alat tetabuhan. Setelah pengobatan zdikir dianggap selesai, semua peralatan pengobatan dibuang di bagian belakang rumah, dan si dukun pulang sambil secara simbolik menyerahkan si sakit kepada keluarganya.


C.     Upacara Adat dan Keagamaan Suku Sakai

Suku sakai tergolong dalam ras Veddoid dengan ciri-ciri rambut keriting berombak. Kulit coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm dan perempuan 145 cm. Untuk berhubungan satu sama lain, orang Sakai menggunakan bahasa sakai. Banyak diantara mereka mengujar logat-logat bahasa batak Mandailing, bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu.
1.   Upacara kematian
Sebelum orang sakai memeluk agama islam dan Kristen maka jika ada seorang sakai yang meninggal dunia, maka mayatnya diletakan ditengah-tengah rumah. Para kerabat tetangga satu “perbatinan” diberitahu. Jika yang meninggal seseorang “pak kuneng” atau saudara laki-laki ibu tertua dari “ego” harus segera mengambil sebilah parang dan dengan parang tersebut melukai keningnya sampai darahnya mengucur. Bila yang meninggal seorang yang masih muda maka “pak kuneng” dari si mati melakukan hal yang sama. Darah yang mengucur tersebut harus diteteskan ke muka dan dada si mayat, maksudnya adalah meminta maaf atas segala kesalahan dan memaafkan segala kesalahan si mayat dan harapan supaya hidupnya di alam kubur sejahtera hendaknya.
  1. Upacara kelahiran
Bila seorang istri tidak haid atau datang bulan, maka dia segera memberitahukan suaminya dan menyuruh suaminya memanggilkan dukun yang ada dalam pemukiman masyarakat orang sakai setempat atau di pemukiman lainnya. Dukun tersebut adalah dukun bayi yang biasanya diperankan oleh wanita tua yang sudah membantu kelahiran bayi. Dukun yang diberitahu oleh suami tersebut datang melihat keadaan si istri dan memeriksa apakah si istri tersebut benar-benar hamil atau karena hanya terlambat datang bulan. Bila si istri tersebut ternyata betul-betul hamil maka si dukun memberikan beberapa nasihat mengenai apa yang harus dipantangkan oleh suami-suami tersebut. Pantangnnya tersebut yaitu :
a.       Pantangan untuk tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam berladang.
b.      Pantangan dilarang mengadakan hubungan kelamin dengan orang yang digolongkan sebagai adik kandung termasuk saudara sepupu yang pararel.
c.       Pantangan yang tidak boleh menyiksa binatang.
3.      Upacara pernikahan
Menurut kebudayaan orang sakai setiap orang boleh kawin dengan siapa saja kecuali dengan orang yang di golongkan sebagai anggota keluarga, yang tidak boleh dikawini adalah: ibu, ibu angkat, ibu tiri, bapak, bapak, bapak angkat, bapak tiri, saudara sekandung, anak, dan saudara sepupu menurut garis parallel (“parallel cousin”). Perkawinan antara paman dengan kemenakan juga di larang kalau si kemenakan tersebut adalah kemenakan menurut garis parallel.
Perkawinan yang biasanya terjadi adalah perkawinan antara bujangan dengan gadis,atau pasangan antara janda dengan duda. Tetapi ada juga perkawinan yang terjadi dimana pihak laki-laki sudah beristri, sehingga mewujudkan adanya keluarga yang poligami. Walaupun perkawinan poligami tidak di larang dalam kebudayaan orang sakai tetapi jarang di lakukan karena pembiayaan mahal dan juga karena pengorganisasian kehidupan rumah tangga di ladangtidak memungkinkan perkawinan poligami dapat berlangsung dengan baik. Perkawinan antara bujangan dengan gadis biasanya selalu di dahului dengan suatu masa pertunangan: atau, kalau tdak ada masa pertunangan maka yang mereka lakukan adalah kawin lari. sebelum di lakukan pertunangan atau kawin lari si bujang dan si gadis sudah saling kenal mengenal secarah mendalam terlebih dahulu. Perkenalan biasanya terjadi dalam kegiatan-kegiatan sosial bersama sehari-hari( yaitu karena rumah mereka berdekatan,karena mereka teman sepermainan, atau karena kedua orang tua mereka sama sama terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomiyang sama sehingga mereka sering bertemu karena di suruh oleh orang tua mereka), atau dapat juga terjadi karena mereka bertemu dan bersama sama memanen padi atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan bersama setelah panenan dalam membuat “emping”padi, atau dapat juga pertemuan tersebut terjadi pada waktu mereka hadir bersama dalam pesta (“olat”) perkawinan.
4.      Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (Life cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya:
1.                          Upacara menanam padi
Benih padi yang disiapkan untuk ditugal di gunakan dengan cara melobangkan tanah yang akan isi padi. Cara melobangkan tanah ini suku sakai biasanya menggunakan kayu yang diruncingkan dengan ukuran 1-1,5 M. Padi yang mereka tanam berbagai jenis padi-padiannya,. Padi pulut, padi induk, dan padi kawat. Bila ladang sudah dipersiapkan dan bibit tanaman padi sudah siap untuk ditanam, maka ditentukan hari untuk mempersiapkan kegiatan menunggal padi yang dilakukan bersama-sama.
  Satu hari sebelum dilakukan kegiatan menanam bibit tanaman padi ini dilakukan upacara "mematikan tanah" yang tujuannya adalah agar ladang tersebut tanahnya dingin atau subur dan mereka yang tinggal diladang tersebut terpelihara dan terjaga dari mara bahaya. Upacara mematikan tanah ini dilakukan oleh masing-masing kepala keluarga yang sama-sama membangun ketetanggaan ladang dan meminta perlindungan POTI SOI ( putri sri, dewi padi ). Bersamaan dengan itu tepatnya di tengah ladang, orang sakai menanamkan "jejak bumi" di tanam sebatang limau nipis yang ditambah ramuan-ramuan serta membawa mantera yang lafalnya adalah :
  Pati soi
  Gemolo soi
  Siti dayang sempono
  Tuan, engkau nak besuko-suko ati
  Ketonggah ladang
  Setelah upacara yang dilakukan pada pagi hari, maka dimulailah penanaman padi. Penanaman bibit-bibit padi biasanya berlangsung selama 2-5 hari penanaman di lakukan oleh suami dan isteri dari keluarga yang berladang bahkan pihak tetangga juga membantu melaksanakan pekerjaan itu.

D.    Interaksi Kepercayaan orang Sakai dengan agama-agama lain

Masyarakat Sakai hidup secara mengelompok di sekitar hulu Sungai, atau mata air dan juga di rawa-rawa. Setiap kelompok terdiri dari 2 (dua) hingga 5 (lima) keluarga batih. Mata pencaharian hidupnya umumnya adalah berburu dan bercocok tanah yang berpindah-pindah dengan sistem tebang-bakar (slash and burn). Setelah terjadi interaksi yang pertama kali muncul ke Indonesia yaitu dengan agama Hindu, aspek keagamaan Hindupun mereka kenal seperti penyebutan Poti Soi (pelafalan untuk Putri Sri atau Dewi Sri) dan penyebutan batara di dalam pengobatan.
Agama orang Sakai mempunyai kedudukan dan peranan yang penting dalam kehidupan individu dan keluarga khususnya untuk kesejahteraan hidup jasmani dan rohani dan kegiatan-kegiatannya adalah preventif dan kuratif. Corak kegiatan-kegiatan seperti ini lebih menekankan pada penggunaan kekuatan-kekuatan gaib atau magi untuk kepentingan-kepentingan praktis dalam kehidupan manusia. Coraknya yang seperti tersebut di atas sebenarnya merupakan hasil dari proses-proses adaptasi terhadap lingkungan kehidupan orang sakai setempat.
Suku Sakai meskipun masyarakat terasing tetapi telah ada agama-agama besar yang masuk atau berinteraksi dengan suku mereka yaitu seperti agama Islam dan Kristen. Bukti adanya interaksi dengan agama-agama lain yaitu diantaranya: sebagaian dari orang Sakai di Kecamatan Mandau ada yang memeluk agama Kristen, di samping mayoritasnya beragama Islam. Mereka adalah orang-orang Sakai yang tinggal di desa-desa Tengganau, Kandis, dan Belutu. Walaupun jumlah mereka yang memeluk agama Kristen amat sedikit bila dibandingkan dengan pemeluk agama Islam, tetapi tokoh-tokoh Islam di kecamatan Mandau mengkhawatirkan perluasan jumlah mereka. Sebagian dari orang-orang Sakai yang telah memeluk agama Kristen ini tetap menjalankan cara-cara kehidupan sebagai orang Sakai, yaitu berladang; sedangkan sebagian lainnya mengubah mata pencaharian mereka menjadi pedagang atau buruh. Yang menarik adalah bahwa kalau sehari-hari orang-orang Sakai beragam Kristen itu tampak kumal tetapi pada hari Minggu, pada waktu pergi ke gereja, mereka tampak berpakaian rapih.
Karena itu agama orang Sakai itu bersifat lokal dan hanya berlaku untuk tingkat lokal, baik dalam pengertian wilayah maupun corak kegiatannya yang khusus lokal yang tidak tercakup di dalam dan oleh ajaran-ajaran agama besar (Islam dan Kristen). Salah satu perwujudannya adalah cara pengobatan yang mereka namakan “dikir” (yang tidak sama dengan “zikir dalam Islam).
Namun menurut Bosniar dalam kehidupan masyarakat Sakai sekarang banyak juga yang memakai hukum Islam dalam lembaga waris mereka, artinya sistem matrilineal digunakan untuk menentukan kerabat tapi dalam pembagian waris mereka sebagian menggunakan hukum Islam.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

kumpulan video suku bawean

Masyarakat Bawean juga terkenal dengan budaya merantau. Mereke merantau ke Bandar Malaka berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu kare...