A.
Asal-Usul Orang Sakai di Kepulauan Riau
Menurut catatan
sejarah, Pada zaman pluvial di daerah tropis yang di sejajarkan oleh para ahli
dengan jaman glacial di Eropa dan Amerika, nusantara (Indonesia) ini belumlah
merupakan pulau-pulau, tetapi masih bersatu dengan daratan Asia. Masuk
pada gelombang pertama : adalah suku Wedoide yang mempunyai ciri
khas, yang oleh para ahli di akui sebagai suku bangsa pertama yang menghuni
nusantara ini.
Nama
Sakai konon berasal dari huruf awal kata Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. Nama
itu sesuai dengan cerminan kehidupan Orang Sakai, anak kampong yang hidup di
sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai
berupa ikan.
Mereka tinggal
di pondok-pondok berlantai tinggi yang sederhana dan mudah dibongkar, karena
sewaktu-waktu mereka siap untuk pindah ke tempat lain. Wadah-wadah untuk
keperluan hidupnya kebanyakan dibuat dari anyaman rotan dan pandan, tempat air
dari labu dan batang kering. Mereka belum mengenal wadah dari tanah liat (gerabah)
kecuali diperoleh dari penduduk desa yang lebih maju. Peralatan besi, seperti
mata tombak dan parang diperoleh dari pedagang Melayu, sebelumnya mata ditombak
dibuat dari kayi yang sangat kuat. Dan keras. Alat lain untuk berburu binatang
adalah jerat dan perangkap.
- Kepercayaan dan Magi Orang Sakai
- Kepercayaan Orang Sakai
Salah satu
diantara ciri-ciri yang dimiliki Orang Sakai yang juga dianggap oleh Orang
Melayu, adalah agama mereka yang diselimuti oleh keyakinan pada animisme,
kekuatan Magi dan tenung.
o Tarekat
Naqsabandiyah merupakan aliran dalam agama Islam yang telah berkembang
berabad-abad di Riau dan di pulau Sumatra pada umumnya, dan di Riau ajaran ini
berpusat di Kerajaan Siak. Tarekat Naqsabandiyah menuntut pemeluknya agar
melakukan sejumlah upacara ritual di luar kewajiban-kewajiban yang dilaukannya
oleh para aliran Sunnah, yang anatar lain mencakup kegiatan-kegiatan berzdikir
dan Wirid, bepuasa, dan mengasingkan diri dan taat kepada guru Muryid) atau
khalifah.
o Sunnah Wal
Jamaah sebetulnya belum lama dikenal dan masuk kedalam kehidupan orang Melayu
di Riau, pada umumnya dan dalam kehidupan orang Melayu dan orang Sakai di Muara
Basung khususnya. Aliran ini datang bersamaan dengan kedatangan orang-orang
minangkabau di Riau.
- Magi Orang Sakai
Sabagaian besar Orang Sakai tidak terlibat dalam konflik-konflik
tersebut, karena mereka tidak merasa menjadi bagian yang sebenarnya dari salah
satu di antara dua aliran tersebut. Mereka masih lebih percaya kepada keyakinan asli dari nenek moyangnya bahwa lingkungan
hidup mereka dihuni oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan “antu” atau hantu
(dalam bahasa Melayu). Antu itu yang baik dan ada yang jahat. Mereka tinggal
dan menjadi penghuni pepohan, sungai-sungai, rawa-rawa,wilayah hutan, ladang,
tempat pemukiman, rumah, dan sebgainya. Seperti halnya dengan manusia, maka
antu-antu tersebut ada yang hidup dan menyendiri dan ada juga yang hidup dalam
satu kesatuan masyarakat kecil dan besar atau kerajaan. Dalam konsepkebudayaan
Orang Sakai kerajaan Antu berada ditengah-tengah hutan belantara yang belum
pernah dirambah oleh manusia.
Bagi orang Sakai bebagai macam penyakit yang mereka derita,
kemalangan, dan kematian. Sebagian besar disebabkan oleh gangguan Antu.
Ketidaktakutan mereka terhadap antu-antu terutama antu kecil disebabkan oleh
adanya keyakinan bahwa memang ada di alam sekeliling tempat mereka hidup dan
bahwa ada mantra-mantra dan upacara ritual yang dapat digunakan untuk mengobati
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh Antu. Ada tiga cara pengobatan yang juga
merupakan tiga tahapan pengobatan, yang biasa dilakukan oleh Orang Sakai yaitu:
a.
Cara pengobatan Uras
Apabila seorang
Sakai merasakan kalau dia sakit karena gangguan antu, maka yang dilakukan
adalah memberitahukan kepada anggota keluarah atau kerabatnya, kemudian pergi
menemui bomo atau dukun yang ada
ditempat pemukiman mereka atau pemukiman lain, perincian dari cara
pengobatan uras tersebut yaitu cincin perak tersebut dikembalikan oleh dukun
kepada keluarga si sakit dan sebagai gantinya dia meneriam uang Rp 1.000. Dukun
memberi mantra yang harus dibaca atau diucapkan oleh si sakit. Kemudian
memberikan resepnya kepada keluarga si sakit yang terdiri atas:
(1) Daun-daunan dari pohon yang ditumbuh di hutan, seperti daun belum bangun,
daun anuti, daun papaga, dan daun ibu-ibu.
(2) Bahan-bahan dari padi, di antaranya: padi ketan yang digoreng sangan sampai
kulitnya terkelupas; beras basah; beras rendang atau beras yang digoreng
sangan; dan beras kunyit atau beras yang direndam di dalam air kunyit.
(3) Makanan yang terdiri dari nasi ketan kuning dan sebuah telur rebus.
(4) Lilin yang terbuat dari damar
Pengobatan ini dilakukan pada malam hari ,
yaitu setelah matahari terbenam. Lilin dinyalakan semalam suntuk di dekat
tempat si sakit tidur, dibagian kepala dan bagian kaki, dan didekat tempat
lilin-lilin menyala tersebut, ditaruh sesajian yang terdiri atas beras-berasan.
Makanan dimakankan kepada si sakit dan anggota keluarga atau juga si sakit itu
membacakan doa. Cara pengobatan Urus ini berlangsung selama tiga malam. Pada siang
hari lilin dimatikan.
- Cara pengobatan Jungkul
Cara pengobatan Jungkul. Proses pengobatan
cara Jungkul adalah sebagai berikut: keluarga meminta dukun untuk mengobati si
sakit dengan cara menyerahkan sebuah cincin perak. Cincin ini dinamakan “cincin
serah”. Cincin ini kemudian dipakaikan di tangan si sakit sebagai gelang dan
diikat dengan tali. Setelah dipakaikan pada si sakit, cincin ini berubah
sebutan menjadi “cincin semangat”. Artinya, cincin yang berisi kekuatan yang
dapat mengusir hantu yang mengganggu si sakit. Cincin tersebut tidak boleh
lepas dari pergelangan tangan si sakit, sebab kalau cincin tersebut sampai
lepas, maka penyakit yang diderita si sakit akan bertambah parah. Adapun
bahan-bahan yang digunakan dalam pengobatan Jungkul adalah sebagai berikut:
(1) Anyam-anyaman yang terbuat
dari daun janur kuning dan dari kayu asam paya untuk membuat bangunan yang
menyerupai rumah, kapal, atau istana. Bentuk bangunan ini dibuat sesuai dengan
permintaan hantu yang disampaikan melalui dukun.
(2) Obor besar yang
dinyalakan waktu menghadap raja hantu yang menguasai dunia hantu.
(3) Beras rendang, beras kuning, dan beras basah.
(4) Nasi ketan kuning dan telur rebus.
(5) Daun-daunan dari
hutan yang sama jenisnya dengan yang digunakan saat pengobatan Uras.
c.
Cara pengobatan Zdikir.
pengobatan dengan cara zdikir. Cara
pengobatan zdikir berlangsung selama tiga malam dan menggunakan bahan-bahan
yang sama dengan yang digunakan pada saat pengobatan Jungkul, namun dilengkapi
dengan alat-alat tetabuhan. Bedanya, kalau dalam pengobatan Jungkul si dukun
melakukan pengobatan dengan duduk bersila, maka dalam pengobata zdikir si dukun
dengan cara menari-nari di sekitar si sakit dengan diiringi bunyi-bunyian dari
alat-alat tetabuhan. Setelah pengobatan zdikir dianggap selesai, semua
peralatan pengobatan dibuang di bagian belakang rumah, dan si dukun pulang
sambil secara simbolik menyerahkan si sakit kepada keluarganya.
C.
Upacara Adat dan Keagamaan Suku Sakai
Suku sakai
tergolong dalam ras Veddoid dengan ciri-ciri rambut keriting berombak. Kulit
coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm dan perempuan 145 cm.
Untuk berhubungan satu sama lain, orang Sakai menggunakan bahasa sakai. Banyak
diantara mereka mengujar logat-logat bahasa batak Mandailing, bahasa
Minangkabau dan bahasa Melayu.
1. Upacara kematian
Sebelum orang sakai memeluk agama islam dan
Kristen maka jika ada seorang sakai yang meninggal dunia, maka mayatnya
diletakan ditengah-tengah rumah. Para kerabat tetangga satu “perbatinan”
diberitahu. Jika yang meninggal seseorang “pak kuneng” atau saudara laki-laki
ibu tertua dari “ego” harus segera mengambil sebilah parang dan dengan parang
tersebut melukai keningnya sampai darahnya mengucur. Bila yang meninggal
seorang yang masih muda maka “pak kuneng” dari si mati melakukan hal yang sama.
Darah yang mengucur tersebut harus diteteskan ke muka dan dada si mayat,
maksudnya adalah meminta maaf atas segala kesalahan dan memaafkan segala
kesalahan si mayat dan harapan supaya hidupnya di alam kubur sejahtera
hendaknya.
- Upacara kelahiran
Bila seorang istri tidak haid atau datang
bulan, maka dia segera memberitahukan suaminya dan menyuruh suaminya
memanggilkan dukun yang ada dalam pemukiman masyarakat orang sakai setempat
atau di pemukiman lainnya. Dukun tersebut adalah dukun bayi yang biasanya
diperankan oleh wanita tua yang sudah membantu kelahiran bayi. Dukun yang
diberitahu oleh suami tersebut datang melihat keadaan si istri dan memeriksa
apakah si istri tersebut benar-benar hamil atau karena hanya terlambat datang
bulan. Bila si istri tersebut ternyata betul-betul hamil maka si dukun
memberikan beberapa nasihat mengenai apa yang harus dipantangkan oleh
suami-suami tersebut. Pantangnnya tersebut yaitu :
a. Pantangan untuk tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam berladang.
b. Pantangan dilarang mengadakan hubungan kelamin dengan orang yang
digolongkan sebagai adik kandung termasuk saudara sepupu yang pararel.
c. Pantangan yang tidak boleh menyiksa binatang.
3. Upacara
pernikahan
Menurut kebudayaan orang sakai setiap orang
boleh kawin dengan siapa saja kecuali dengan orang yang di golongkan sebagai
anggota keluarga, yang tidak boleh dikawini adalah: ibu, ibu angkat, ibu tiri,
bapak, bapak, bapak angkat, bapak tiri, saudara sekandung, anak, dan saudara
sepupu menurut garis parallel (“parallel cousin”). Perkawinan antara paman
dengan kemenakan juga di larang kalau si kemenakan tersebut adalah kemenakan
menurut garis parallel.
Perkawinan yang biasanya terjadi adalah
perkawinan antara bujangan dengan gadis,atau pasangan antara janda dengan duda.
Tetapi ada juga perkawinan yang terjadi dimana pihak laki-laki sudah beristri,
sehingga mewujudkan adanya keluarga yang poligami. Walaupun perkawinan poligami
tidak di larang dalam kebudayaan orang sakai tetapi jarang di lakukan karena
pembiayaan mahal dan juga karena pengorganisasian kehidupan rumah tangga di
ladangtidak memungkinkan perkawinan poligami dapat berlangsung dengan baik.
Perkawinan antara bujangan dengan gadis biasanya selalu di dahului dengan suatu
masa pertunangan: atau, kalau tdak ada masa pertunangan maka yang mereka
lakukan adalah kawin lari. sebelum di lakukan pertunangan atau kawin lari si
bujang dan si gadis sudah saling kenal mengenal secarah mendalam terlebih
dahulu. Perkenalan biasanya terjadi dalam kegiatan-kegiatan sosial bersama
sehari-hari( yaitu karena rumah mereka berdekatan,karena mereka teman
sepermainan, atau karena kedua orang tua mereka sama sama terlibat dalam
kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomiyang sama sehingga mereka sering bertemu
karena di suruh oleh orang tua mereka), atau dapat juga terjadi karena mereka
bertemu dan bersama sama memanen padi atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan
bersama setelah panenan dalam membuat “emping”padi, atau dapat juga pertemuan
tersebut terjadi pada waktu mereka hadir bersama dalam pesta (“olat”)
perkawinan.
4. Upacara penobatan
batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan
lingkungan hidup (Life cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa
alam diantaranya:
1.
Upacara menanam padi
Benih padi yang disiapkan untuk ditugal di
gunakan dengan cara melobangkan tanah yang akan isi padi. Cara melobangkan
tanah ini suku sakai biasanya menggunakan kayu yang diruncingkan dengan ukuran
1-1,5 M. Padi yang mereka tanam berbagai jenis padi-padiannya,. Padi pulut,
padi induk, dan padi kawat. Bila ladang sudah dipersiapkan dan bibit tanaman
padi sudah siap untuk ditanam, maka ditentukan hari untuk mempersiapkan
kegiatan menunggal padi yang dilakukan bersama-sama.
Satu hari
sebelum dilakukan kegiatan menanam bibit tanaman padi ini dilakukan upacara
"mematikan tanah" yang tujuannya adalah agar ladang tersebut tanahnya
dingin atau subur dan mereka yang tinggal diladang tersebut terpelihara dan
terjaga dari mara bahaya. Upacara mematikan tanah ini dilakukan oleh
masing-masing kepala keluarga yang sama-sama membangun ketetanggaan ladang dan
meminta perlindungan POTI SOI ( putri sri, dewi padi ). Bersamaan dengan itu
tepatnya di tengah ladang, orang sakai menanamkan "jejak bumi" di
tanam sebatang limau nipis yang ditambah ramuan-ramuan serta membawa mantera
yang lafalnya adalah :
Pati soi
Gemolo soi
Siti dayang
sempono
Tuan, engkau
nak besuko-suko ati
Ketonggah
ladang
Setelah upacara
yang dilakukan pada pagi hari, maka dimulailah penanaman padi. Penanaman
bibit-bibit padi biasanya berlangsung selama 2-5 hari penanaman di lakukan oleh
suami dan isteri dari keluarga yang berladang bahkan pihak tetangga juga
membantu melaksanakan pekerjaan itu.
D.
Interaksi Kepercayaan orang Sakai dengan agama-agama lain
Masyarakat Sakai hidup secara mengelompok
di sekitar hulu Sungai, atau mata air dan juga di rawa-rawa. Setiap kelompok
terdiri dari 2 (dua) hingga 5 (lima) keluarga batih. Mata pencaharian hidupnya
umumnya adalah berburu dan bercocok tanah yang berpindah-pindah dengan sistem
tebang-bakar (slash and burn).
Setelah terjadi interaksi yang pertama kali muncul ke Indonesia yaitu dengan
agama Hindu, aspek keagamaan Hindupun mereka kenal seperti penyebutan Poti Soi (pelafalan untuk Putri Sri atau
Dewi Sri) dan penyebutan batara di dalam pengobatan.
Agama orang Sakai mempunyai kedudukan dan
peranan yang penting dalam kehidupan individu dan keluarga khususnya untuk
kesejahteraan hidup jasmani dan rohani dan kegiatan-kegiatannya adalah
preventif dan kuratif. Corak kegiatan-kegiatan seperti ini lebih menekankan
pada penggunaan kekuatan-kekuatan gaib atau magi untuk kepentingan-kepentingan
praktis dalam kehidupan manusia. Coraknya yang seperti tersebut di atas
sebenarnya merupakan hasil dari proses-proses adaptasi terhadap lingkungan
kehidupan orang sakai setempat.
Suku Sakai meskipun masyarakat terasing
tetapi telah ada agama-agama besar yang masuk atau berinteraksi dengan suku
mereka yaitu seperti agama Islam dan Kristen. Bukti adanya interaksi dengan
agama-agama lain yaitu diantaranya: sebagaian dari orang Sakai di Kecamatan
Mandau ada yang memeluk agama Kristen, di samping mayoritasnya beragama Islam.
Mereka adalah orang-orang Sakai yang tinggal di desa-desa Tengganau, Kandis,
dan Belutu. Walaupun jumlah mereka yang memeluk agama Kristen amat sedikit bila
dibandingkan dengan pemeluk agama Islam, tetapi tokoh-tokoh Islam di kecamatan
Mandau mengkhawatirkan perluasan jumlah mereka. Sebagian dari orang-orang Sakai
yang telah memeluk agama Kristen ini tetap menjalankan cara-cara kehidupan
sebagai orang Sakai, yaitu berladang; sedangkan sebagian lainnya mengubah mata
pencaharian mereka menjadi pedagang atau buruh. Yang menarik adalah bahwa kalau
sehari-hari orang-orang Sakai beragam Kristen itu tampak kumal tetapi pada hari
Minggu, pada waktu pergi ke gereja, mereka tampak berpakaian rapih.
Karena itu agama orang Sakai itu bersifat
lokal dan hanya berlaku untuk tingkat lokal, baik dalam pengertian wilayah
maupun corak kegiatannya yang khusus lokal yang tidak tercakup di dalam dan
oleh ajaran-ajaran agama besar (Islam dan Kristen). Salah satu perwujudannya
adalah cara pengobatan yang mereka namakan “dikir” (yang tidak sama dengan
“zikir dalam Islam).
Namun menurut Bosniar dalam kehidupan
masyarakat Sakai sekarang banyak juga yang memakai hukum Islam dalam lembaga
waris mereka, artinya sistem matrilineal digunakan untuk menentukan kerabat
tapi dalam pembagian waris mereka sebagian menggunakan hukum Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar