A.
Asal-usul Suku Trunyan (Bali Aga).
Trunyan
berasal dari kata Taru Menyan, Taru yang berarti pohon dan Menyan berarti wangi atau harum yang
sekarang ini menjadi pohon besar yang menjadi perkuburan adat masyarakat
Trunyan. Pohon ini dipercaya mempunyai wangi yang semerbab yang membuat
jenazah-jenazah yang diletakkan di sekitar pohon tersebut tidak mengeluarkan bau
menyengat. Semuai itu dimulai dari kisah dahulu di kerajaan Surakarta di pulau
jawa, tercium bau harum yang berhasil menarik perhatian dari 4 bersudara,
pangeran dan putri kerajaan Surakarta. Bau harum tersebut telah berhasil
menarik perhatian 4 bersaudara tersebut untuk memutuskan pergi mengembara,
mereka terdiri dari 3 orang pangeran dan 1 orang putri.
Menurut
penelitian oleh Jemes D, untuk mengetahui sejarah Desa Trunyan sulit sekali.
Semua itu disebabkan karena peninggalannya berupa tulisan yang hanya berupa
beberapa prasasti, yang kini disimpan di pelinggih
(bangunan suci tempat persemayaman dewa). Desa Trunyan, Kedisan, dan desa Abang
Dukuh ketiga desa ini terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupateng Bungli
Provinsi Bali. Terkait dengan tiga desa tersebut karena mempunyai cerita yang
runtut dalam pembentukannya, yang di ceritakan dari pengembaraan empat orang
putra Raja Surakarta ke Bali untuk mencari bau harum yang menyengat. Namun
disini akan lebih dijelaskan bagaimana desa Trunyan di Provinsi Bali tersebut.
Masyarakat
Bali Aga adalah kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan
merupakan masyarakat yang sulit ditundukkan pada saat Kerajaan Majapahit
menguasai Bali. Kesulitan Majapahit dalam menundukkan Bali karena mendapat
perlawanan dari masyarakat Bali Aga yang dapat dirasakan oleh Raja Sri Kresna
Kapakisan, yang ditempatkan oleh Gajah Mada untuk memerintah di Bali.
B. Mite, Adat Kebudayaan dan Ritual
1. Mite Tentang Dewi yang Turun Dari Langit.
Dahulu
ada seorang Dewi yang terpesona oleh bau harum, yang datang dari suatumtempat
dibumi, telah turun dari langit untuk mencari sumber bau harum itu. Setelah
mencari-cari beberapa waktu lamanya, akhirnya ia tiba ditemp[at bau harum itu
berasal. Bau harum tersebut, ternyata keluar dari pohon Taru Menyan (pohon
Menyan/benzoin). Sejak itu, tempat itu dinamakan Trunyan, yang berasal dari
kata taru dan menyan
2. Adat Kebudayaan di suku Trunyan
Berikut data
yang dapat kami paparkan tentang beberapa adat kebudayaan yang terdapat di suku
Trunyan. Sebagai berikut:
a.
Arsitek Adat Desa Trunyan
Letak Desa
Trunyan berada di seblah timur danau Batur, maka orientasi masa-masa
bangunannya mengarah ke danau juga. Dalam filosofi bangunan Bali Aga,
bangunannya mengarah ke dataran rendah, dalam hal ini adalah danau itu sendiri,
sedangkan belakangnya berupa pegunungan. Pola desanya berbentuk grid karena
bangunannya kearah danau, sehingga disepanjang pesisir bangunannya menghadap ke
arah danau.
Untuk arsitek
yang berada di Desa Trunyan sangat berbeda dengan arsitektur-arsitektur
ditempat lain. Jika ditempat lain dalam satu pekarangan hanya terdapat satu kepala
keluarga akan tetapi berbeda dengan desa Trunyan dimana di dalam satu
pekarangan terdapat banyak kepala keluarga dimana dalam satu kepala keluarga
memiliki satu bangunan atau rumah dalam satu pekarangan tersebut. Rumah
tersebut dinamai bale saka roras, dimana dalam satu bangunan terdapat beberapa
ruangan yang disesuaikan dengan pembagian dari saka-saka tersebut.
Di dalam ruang tersebut semua kegiatan dilakukan di dalam ruangan. Mulai
dari memasak, makan dan tidur serta berkumpul dengan keluarga
Desa Trunyan itu di dalam satu
pekarangan terdapat banyak kepala keluarga dimana dalam satu kepala keluarga
memiliki satu bangunan atau rumah dalam satu pekarangan tersebut. Rumah
tersebut dinamai bale saka roras, dimana dalam satu bangunan terdapat beberapa
ruangan yang disesuaikan dengan pembagian dari saka-saka tersebut. Di dalam
ruang tersebut semua kegiatan dilakukan di dalam ruangan. Mulai dari memasak,
makan dan tidur serta berkumpul dengan keluarga.
Desa Trunyan
memiliki pemakaman yang unik, yang berbeda dengan Bali pada umumnya, yang
dikenal dengan Ngaben. Namun, ini berbeda halnya dengan suku Trunyan. Orang
yang meninggal bukan dibakar atau dimakamkan, melainkan dibiarkan membusuk
ditanah membentuk cekungan panjang.
Ø Pementasan Barong Brutuk
Wajah barongnya
menggunakan seperti topeng primitive,
dipakaikan kepada seorang remaja dengan pakaian dari daun pisang kering. Tokoh pada Barong Brutuk seseorang
berfungsi sebagai raja, kemudian ratu, kakak sang ratu dan patih, selebihnya
menjadi anggota biasa (unen-unen), dipentaskan pada siang hari, tepat saat
mulai odalan di Pura Pancering Jagat , upacara odalan tersebut biasannya selama
tiga hari berturut-turut. Dalam
ritual desa Trunyan yang membedakan dengan ritual suku-suku yang ada di Bali
hanya dilihat dari bentuk pemakamannya. Umumnya dikubur atau dengan Ngaben tapi
di Trunyan hanya diletakkan di bawah pohon saja.
C. Religi, Tempat dan Upacara Keagamaan
Religi orang Trunya adalah suatu variant, atau salah satu versi yang
berbeda dari agama Hindu Bali, yang dapat disebut sebagai agama Hindhu Bali
Trunyan, yang selanjutnya merupakan sebagian dari agama Hindhu Dharma, yang
telah diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.
Agama Hindhu Trunyan dapat disebut sebagai Variant (versi berbeda) dari
Agama Hindhu Bali, karena agama tersebut pada dasarnya jika dibandingkan dengan
Agama Hindhu bali, masih banyak berlandaskan kepada kepercayaan yang
berdasarkan kepada pemujaan Roh leluhur. Liturgy Hindhu Bali misalnya
dipergunakan disana bukan untuk memuja dewa-dewa Hindhu, yang berasal dari
India seperti Siwa, Wisnu, dan Brahma, melainkan untuk Dewa-dewa pribumi Trunyan,
yang asalnya adalah leluhur mereka sendiri, seperti Ratu Sakti Pancering
Jagat., permaisurinya selirnya, pendetanya, para menterinya, panglima
perangnya, dan anak-anaknya.
Ø Upacara
Keagaman Di Trunyan
Upacara keagamaan di
Trunyan dapat dibagi menjadi lima jenis:
1)
Dewa Yadnya. Biasa disebut dengan Odalan,
yang bertujuan untuk mengambil hati dewa yang
diupacarakan. hampir stiap bulan ada upacara ini. Salah satunya adalah
upacara Saba Gede yang dilakukan pada saat Tilem Kesanga dan Odalan
Ratu Pingit Dalem pada saat purnama Sadha.
2)
Pitra Yadnya. Upacara yang dilakukan
untuk para leluhur dan para kerabat, juga apabila an.
3)
Resi Yadnya, upacara yang dilakukan
untuk pentahbisan pendeta
4)
Buta Yadnya, upacara yang dilakukan
untuk para buta kala, biasa juga disebut dengan Mecaru
5)
Manusia Yadnya, upacara yang dilakukan
untuk manusia yang masih hidup. Misalnya upacara ulang tahun otonan yang
berlangsung enam bulan sekali.
Dalam kebudayaan orang Trunyan, jika seseoran tidak dalam keadaan sebel
maka bisa dikatakan bahwa upacara-upacara yang rutin akan dilakukan setiap lima
belas hari sekali. Dari kelima jenis upacara diatas hanya upacara Odalan,
Mecaru dan Otonan yang dapat dikatakan sebagai upacara rutin.
Hindu Trunyan tidak memiliki hari raya yang sama dengan Hindu di Bali pada
umumnya. Hari-hari raya seperti galangan, kunigan, ciwartri, saraswatri, dan
pagerwesi, tidak dirayakan. Bahkan nyepi pun tidak. Jika diantara mereka
melakukan amati geni pada saat nyepi bukan karena mereka merayakan tatapi
karena takut tidak disebut sebagai orang Hindu oleh orang Hindu Bali fanatik.
Hari dimana upacara seba gede dilakukan bisa dikatakan sebagai hari raya yagn
terbesar bagi orang Trunyan, selain itu hair pelaksanaannya bertepatan dengan
hari raya nyepi.
Ø Sistem kepercayaaan orang
Trunyam
Kepercayaan yang menghubungkan dengan sistem kepercayaan orang Trunyan
adalah kepercayaan mengenai: 1) dunia gaib, 2) dewa-dewa, 3) makhluk-makhluk
halus, 4) roh peribadi dan roh
leluhur, 5) kekuatan sakti, 6) kepercayaan mengenai penyakit dan kematia, 7) kepercayaan mengenai hidup dan hidup setelah mati, 8) kesusteraan suci.
Dunia Gaib
Orang sadar trunyan sdadar bahwa dirinya terdiri dari dua aspek, yaitu
dunia yang nyata dan dunia yang tidak tampak. Yang terakhir ini adalah yang
berhubungan dengan sistem kepercayaanya. Dunia berada diluar jangkauan panca
indera dan diluar batas akalnya. Didalam aspek dunia kedua inilah terdapat
berbagai mahkluk halus dan kekuatan sakti, yang taidak dapat dikuasai manusia secara
biasa.
Dan karena kebanyakan orang Trunyam tergolong tidak mempunyai ilmu gaib
untuk menghadaoi mahkluk-mahkluk halus tersebut, maka jalan yang ditempuh untuk
menghadaoi mahkluk-mahkluk halus tersebutadalah dengan mengambil hati mereka
serta menyembahnya, maksud penyembahan yang mereka lakukan adalah agar
mahkluk-mahkluk gaib tersbut menjadi senang dan melindungi mereka serta
membantu kehidupan orang Trunyan.
Dewa-Dewa
Jumlah dewa-dewa orang Trunyan sangat banyak dan ada susunannya. Kebanyakan
dari mereka itu mempunyai tempat persemayaman (pelinggih) tersendiri di
dalam kuil utama Trunyan, Bali desa pancering Jagat Bali.
Dewa-dewa di Trunyan dapat dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan
beberapa macam kriteria, diantarnya sebagai berikut:
A.
Berdasarkan hubungannya dengan raja dewanya (Ratu Sakti Pancering Jagat) Dalam kriteria ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
1.
Dalam hubungan kekerabatan.
Dewa-dewa yang tergolong
kerabat dewa tertinggi Trunyan adalah Ratu
Ayu Pinyit Dalam Dasar,
yang merupakan permaisurinya, Ratu Ayu
Mekulem, merupakan
istrinya yang lain, dan Ratu Gede Dalam Dasar, yang
merupakan putra tertuanya
dari hasil perkawinannya dengan perrmain suri.
2.
Dalam hubungan pemerintahan.
Dewa-dewa yang tergolong
dalam pemerintahan kerajan Ratu Sakti Pancering Jagat antara lain: Ratu Sakti
Gunung Agung, yang mengurus mencarikan dana bagi perayaannya; Ratu Sakti Meduwe
Gama Ujung Sari, yangmegurus pembuatan awig-awig (undang-undang); Ratu
Sakti Pujangga Lueh, yang bertugas sebagai pendeta kerajaan, yangmengurus hal
keagamaan dan pembuatan tirtha (air suci); Ratu Sakti Meduwe Raja, yang
bertugas sebagai sekretarisnya; Ratu Ayu Manik Surat Mepura Kangin dan Ratu Ayu
Manik Sutra Mepura Kaoh, dua orang dewa kembar yang bertuga mengawasi tingkah
para pesuruh desa yaitu para buta kala; Betara Kaler, yang bertugas
sebagai panglimanya; Ratu Wayan Purus Mandi,yang bertugas sebagai jaksa
kerajaan; dan Ratu Wayan Besang Bedel, yang bertugas sebagai hakim kerajaannya.
B.
Berdasarkan perbedaan lokasi pelinggihnya.
Berdasarkan lokasi
pelinggihnya, dewa-dewa di Trunyan dapat pula dibagi menjadi dua golongan
yaitu:
1.
Berada di desa induk Trunyan
(Belongan Trunyan)
Dewa-dewa dari golongan pertama ini adalah mereka yang merupakan kerabat
dan para menteri dewa tertinggi Trunyan. Dewa-dewa ini bersemayam di dalam kuil
utama Trunyan, Bali desa Pancering
Jagat Bali.
2.
Berada di tempek-tempek
Para dewa dari golongan kedua ini adalah mereka yang hanya dipuja penduduk
desa tertentu dan warga dadia tertentu. Contohnya yang
pelinggih-pelinggihnya berada di pura bunut yang terletak di tempek. Para dewa
tersebut tidak dipuja oleh seluruh penduduk Trunyan, melainkan asli tempek
tersebut.
C.
Berdasarkan jumlah pemujanya.
Dewa-dewa Trunyan dapat
pula dibagi menjadi dua golongan berdasarkan jumlah pemujanya, yaitu desa atau Dadia
(klen kecil patrineal). Dewa-dewa golongan pertama
adalah mereka yang merupakan kerabat serta pembantu (menteri) dewa tertinggi
Trunyan dan bersemayam didalam kuil utama Trunyan. Dewa-dewa golingan kedua
adalah mereka yang merupakan leluhur
masing-masing Dadia, dan bersemayam di sanggh dadia-dadia
masing-masing.
Para dewa Trunyan sebagian
besar bersifat pengasih dan selalu melindungi penduduk Trunyan, dan sebagian
kecil bersifat suka menghukum. Ada satu dwa yang tidak mempunyai pelinggih
khusus, yaitu Empu Rare atau Kumara. Tugas dewa tersebut adalah menjaga seorang
anak bayi yang baru lahir, sampai usia 12 bulan. Dewa ini hanya dipuja jika
sebuah rumah tanggal kelahiran seorang anak bayi.
Dewa-dewa di Trunyan juga mempunyai lambang suci yang disimpan di dalam pelinggih-pelinggih
masing-masing. Lambang tersebut dapat dibagi dua, yaitu yang pertama disebut pertima,
yang dibuat manusia, dan yang kedua yang disebut piturun, diyakini oleh orang
Trunyan diturunkan langsung dari langit oleh dewa yang bersangkutan.
Mahkluk-Makhluk Halus
Selain para dewa, orang Trunyan juga yakin bahwa didunia alam gaib ada
mahkluk halus seperti Buta
Kala, Anak diPeteng, Jin, bintang-bintang gaib dan lain sebagainya.
1.
Buta kala adalah roh halus yang
bukan berasal dari manusia. Kedudukannya masih lebih rendah dari para dewa. Karena mereka merupakan pesuru-pesuruh dewa.
Buta kala berbeda dengan para dewa karena sifatnya yang bermusuhan dengan
manusia, selalu mengganggu manusia. Mereka akan berhenti mengganggu manusia
jika diberi sesajian khusus yaitu yang disebut caru. Tempat tinggal para
buta kala ini disekita bali Desa Pancering Jagat Bali. Didalam Bali Desa mereka
berada terutama dibawah pohon beringan yang terletak di kompleks Kemulan
Kangin dan pohon nangka tua di Tinggkih tengah. Buta kala sering menampakkan
diri dalam bentuk raksasa atau seekor kuda.
2.
Mahkluk halus yang disebut anak di peteng ada tiga macam, yaitu: hantu,
nyama pat (empat saudara), jim dan roh anak kecil.
a.
Hantu adalah roh manusia Trunyan, yang oleh kerabatnya yang masih hidup,
belum juga di-aben-kan walaupun ia sudah lama meninggalkan badan kasarnya.
Roh-roh semacam ini menjadi jahat karena kesal tidak dapat melepaskan diri dari
kehidupannya yang lama. Menurut kepercayaan orang Trunyan, roh-roh yang dapat
menjadi hantu hanyalah roh-roh yang pada waktu meninggalnya telah
menikah dan juga mati secara tidak wajar. Hal ini disebabkan karena mereka
termasuk roh yang paling “kotor” (sebel), sehingga selama belum melalui
upacara pembersihan serta pengabenan harus bertempat tingal di tempat
paling kotor.
b.
Nyama Pat adalah roh-roh empat
saudara seorang anak bayi Trunyan, sewaktu masih dalam rahin ibunya. Empat
saudara tersebut adalah yeh nyem (air tuban), getih (darah), ari-ari(placenta),
dan tali pusat.
c.
Jim mungkin berasal dari kata
jin. Penampilan roh ini berupa seorang perempuan atau lelaki. Roh ini dibedakan
dari hantu, karena bukan berasal dari orang Trunyan. Tempat kediaman jim
ini di jalan Batu Gede.roh terakhir yang temasuk dalam kategori anak di
peteng adalah roh-roh anak kecil, yang sering menampilkan diri di jalan
megalitik batu gede, yaitu dibagian yang berada tepat di atas setra nguda
(tempat pemakaman anak kecil dan teruna/debunga). Mereka ini tidak
bersifat jahat, hanya suka meminta makan, maka orang yang lewat dijalan
tersebut harus memberi sajian.
3.
Didalam kepercayaan orang-orang Trunyan ada pula bintang-binatang gaib yang disebut Druwe, dan dianggap sebagai piaraan dewa. Bintang-binatang
gaib yang termasuk dalam kategori ini adalah naga bersisik dan berjengger emas,
ular,
kelelawar dan harimau. Naga ini tunggangan Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar dan putranya yang bernama Ratu Gede Dalam Dasar. Upacara mekelem, yaitu
memberi sajian dengan
menenggelemkannya kedalam danau untuk para piaraan dewa tersebut. Naga ini ada
kalanya bermain di dalam penaleman (bagian kuil utama Trunyan yang
tersuci).
Roh Pribadi Dan Roh Leluhur
Orang Trunyan juga membedakan badan kasar degnan badan halus, jika badan
kasar
dapat lenyap setelah orang yang memilikinya meninggal, maka badan halusnya
atau rohnya tidak.
Roh manusia adalah abadi, dan roh tersebut akan
terus kembali menitis ketubuk kasar orang se-dadia-nya. Penitisan
terus-menerus suatu roh didalam suatu dadia dari generasi kegenrasi yang lain,
menyebabkan orang Trunyan tidak berani menyakiti anak dan keturunannya. Dan
setiap orang Trunyan harus menghormati tubuh halusnya, karena jiwa yang
bersemayam di dalam tubuh pribadinya adalah roh dari salah seorang leluhur
mereka. Roh-roh leluhur yang menitis kembali pada orang Trunyan ada kalanya
berasal dari mereka yang sudah mempunyai kedudukan sebagai dewa. Roh-roh
leluhur yang telah mencapai tinggakat kedewan in jika menitis selalu kedalam
tubuh anak-anak kembar dua. Anak kembar dua yang berkelamin sama disebut kembar
patuh, Anak kembar dua yang berbeda jenis kelami disebut kembar buncing,
dan kembar tiga atau lebih disebut kembar telu. Dengan kelahiran anak
kembar ini bukan saja keluarga yang melahirkan berada dalam keadaan sebel,
yaitu muharram, tetapi seluruh desa Trunyan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam masalah kelahiran anak kembar di Trunyan
adalah mengenai dualisme, yaitu disatu pihak ia dianggap sial, tetapi dipihak
lain ia diangga sebagai keberuntungan.
Anak-anak kembar jika dapat hidup, selama hidupnya dianggap suci sehingga
mendapat gelar kesucian yaitu: Jero Patuh untuk Kembar Patuh, Jero
Salit untuk Kembar Buncing, dan Jero Telu untuk kembar tiga.
Kekuatan Sakti
Orang Trunyan seperti hanya bangsa-bangsa di sunia ini juga mempercayai
adanya kekuatan-kekuatan gaib dalam gejala-gejala yang luar biasa.
Gejala-gejala dan hal-hal yan gluar biasa tersebut dapat berupa gejala-gejala
alam, tokoh-tokoh manusia, bagian-bagian tubuh manusia, bintang,
tumbuh-tumbuhan, benda-benda dan lain sebagainya.
Gejala-gejala yang orang Trunyan anggap mempunyai tenaga gaib adalah angin,
yang bertiup dari arah barat laut, yaitu dari arah desa Songan. Angi tersebut
disebut angin Gering, yang berarti angin penyakit.
Tokoh-tokoh manusia yang dianggap mempunyai kekuatan tenaga gaib adalah
para balian di Trunyan, karena mereka mempunyai tenaga untuk menguasai
tenaga alam seperti hujan, untuk mencelakai orang dengan cara gaib, atau
menyembuhkan orang sakit. Guru Parbawi misalnya, seorang balian
terkemuka yang dapat mendatangkan dan mengusir
hujan.
Kepercayaan Mengenai Penyakit Dan Kematian
Penyakit bagi orang Trunyam sangat erat kaitannya dengan alam gaib, menurut
mereka penyebab utama dari suatu penyakit adalah anak di peteng (roh
jahat). Manusia yang terbentur anak di peteng maka akan sakit. Sakit juga
disebabkan roh pribadi si sakit marah, biasanya ini disebbkan hari lahirnya
tidak diupacarakan (otonan). Selain dua sebab diatas peran balian
pengiwa yang dapat mengerahkan roh-roh jahat juga diyakini dapat menjadi sebab
dari suatu penyakit.
Seseorang yang meninggal dalam kepercayaan Trunyan akan dimakamkan sesuai
dengan kondisi kematiannya. Ada dua macam jenis pemakaman di Trunyan. Yaitu exposure
dan inhumation. Oleh karena itu di desa Trunyan disediakan tiga tempat
pemakaman: (1) Sema Wayah, dipergunakan untuk pemakaman mepasah
(exposure). (2) Sema Bantas, dipergunakan bagi pemakaman dengan
penguburan. (3) Sema Nguda, dipergunakan bagi kedua jenis penguburan.
Eskatologi orang Trunyan menyakini adanya surga. Orang-orang yang meninggal
dalam keadaan belum kawin atau anak-anak akan langsung masuk surga. Sedangkan
yang lainnya setelah meninggal akan gentayangan menunggu jenazahnya diabenkan.
Setelah itu baru bisa menitis kembali. Jika tidak diabenkan ia mengganggu
kerabatnya. Uniknya orang Trunyan lebih memilih menitis kembali dari pada masuk
kedalam surga.
Kesusasteraan Suci
Seperti juga bangsa-bangsa di dunia, orang Trunyan juga mempunyai
kesusasteraan suci atau mite (myth).
Mite tersbut adalah: mite tentang dewi yang turun dari langit, dan legenda
tentang anak-anak dalem solo yang mengembara mencari sumber bau-bauan harum.
D.
Upacara
Kematian dan Pemakaman Trunyan
Terkait dengan
kepercayaan orang Trunyan mengenai kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan
ada 2 macam yaitu:
1. Mepasah (meletakkan
jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka), orang-orang yang dimakamkan dengan
cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang
telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi
susunya telah tanggal.Jumlah liang lahat di area kuburan utama ada sekitar 7
ancak saji atau liang yang digunakan secara bergantian untuk tiap jenasah. Jika
semua liang terisi, sementara ada warga yang harus dimakamkan, maka salah satu
rangka jenasah dalam liang harus diangkat dan diletakkan di sekitar liang.
2. Dikubur/dikebumikan,
orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat
tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya
terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang
yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur.
Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.
Desa Trunyan
yang merupakan salah satu wilayah dihuni oleh Suku
Bali Aga atau Bali Mula yang masih teguh memegang
kepercayaan leluhurnya. Bali Aga atau Bali Mula merupakan suku bangsa yang
pertama mendiami Pulau Bali. Hingga kini suku Bali Aga dan segala keunikannya
masih dapat ditemui salah satunya di Desa Trunyan.
Dalam
keseharian masyarakat Bali pada umumnya beragama “Hindu”, bila ada kerabat yang
meninggal maka biasanya dilakukan kremasi atau mengubur jenazah tersebut sesuai
dengan diajarkan oleh agama Hindu.
Di Desa
Trunyan, jenazah tidak dikubur atau dikremasi seperti yang umumnya terjadi di
wilayah lainnya, masyarakat Desa Trunyan menyimpan jenazah kerabatnya yang
telah meninggal di atas tanah, dengan ditutupi kain dan bambu yang disusun
membentuk prisma. Masyarakat desa Trunyan menamakan upacara pemakamannya dengan
istilah Mepasah.
Seperti yang
telah disinggung di atas, bahwa dalam mepasah, setelah upacara pembersihan
dengan cara dimandikan dengan air hujan, jenazah hanya digeletakan di permukaan
tanah. Tempat pembaringan jenazah diberi lobang sekitar 10 hingga 20 cm agar
posisi jenazah tidak bergeser akibat kontur tanah pemakaman yang tidak rata.
Kemudian selain
bagian wajah, bagian tubuh jenazah dibalut kain berwarna putih. Sebagai
penanda, jenazah ditutup dengan bambu yang disusun membentuk prisma yang
disebut ancak saji. Yang unik adalah meski pun jenazah diletakan di
permukaan tanah, mayat tersebut tidak tercium baunya.
Jenazah
tersebut diletakan di antara pohon Taru Menyan, taru berarti pohon dan menyan
berarti harum. Kiranya, aroma yang keluar dari pohon taru menyan inilah yang
dapat menetralisir udara di sekitarnya.
Pohon yang
mengeluarkan aroma khas yang kuat tersebut hanya dapat tumbuh di daerah ini,
meskipun telah dicoba ditanam di daerah lain. Keunikan pohon ini agaknya telah
menjadi cikal bakal nama desa Trunyan.
Di bawah satu
pohon taru menyan, hanya dapat diletakkan maksimal sebelas jenazah. Hal
tersebut sudah diatur oleh kepercaan adat setempat. Tetapi ada yang mengatakan
bahwa satu pohon taru menyan hanya bisa menetralisir sebelas jenazah, jadi jika
lebih dari itu maka jenazah tersebut akan mengeluarkan bau.
Bila ada
jenazah yang baru, maka maka satu jenazah yang paling lama akan dipindahkan, ke
tempat terbuka, tidak ditutupi dengan kurung ancak saji lagi melainkan
disatukan dengan dengan jenazah lainnya dalam tatanan batu atau di bawah pohon.
Maka tidak
heran jika di tempat tersebut, terdapat tulang belulang dan barang-barang bekal
sesaji seperti sandal, sendok, piring, pakaian, dan lain-lain berserakan di
area pemakaman. Hal tersebut memang disengaja karena tidak boleh ada barang
yang yang dibawa keluar dari area pemakaman ini.
Tetapi tidak
semua jenazah dapat diperlakukan sama seperti yang telah disebutkan. Hanya pada
kondisi tertentu saja jenazah dapat dimakamkan seperti ini. Syarat jenazah yang
dapat dimakamkan dengan cara tersebut adalah mereka yang pada waktu meninggal
termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan
dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal, orang-orang yang meninggal
dalam keadaan wajar dan tidak terdapat luka yang belum sembuh, serta memiliki
bagian tubuh yang lengkap. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, maka jenazah
disemayamkan dengan cara dikubur.
Adat Desa
Trunyan telah mengatur tata cara pemakaman untuk masyarakatnya. Terdapat tiga
jenis sema (makam) yang berada di Desa Trunyan dan telah dibedakan
berdasar umur orang yang meninggal, keutuhan bagian-bagian tubuh, dan cara
penguburannya.
Area pemakaman
pertama disebut sebagai sema wayah, tempat pemakaman yang dianggap
paling baik dan paling suci, yaitu ketika jenazah dapat dimakamkan dengan cara
mepasah. Jenis pemakaman kedua adalah sema muda, di tempat ini jenazah
dikebumikan dengan cara dikubur, diperuntukkan bagi anak-anak atau bayi yang
gigi susunya belum tanggal.
Jenis ketiga
adalah sema bantas, sama halnya dengan sema muda jenazah dikebumikan
dengan cara dikubur, namun diperuntukkan bagi orang-orang yang Ulah Pati
dan Salah Pati, yaitu pada saat meninggal masih meninggalkan luka dan
penyebab kematiannya tidak wajar seperti kecelakaan, kehilangan nyawa
disebabkan oleh tindakan owang lain, kehilangan nyawa karena sengaja, dan
ada bagian tubuh yang tidak utuh.
E.
Interaksi Kepercayaan Orang Trunyan
Dengan Agama-agama Lain
Dinamika budaya
serta perubahan sosial di Trunyan juga
menjadi salah satu bukti interaksi Trunyan terhadap agama-agama lain. Letak
Trunyan yang terpencil dari kehidupan orang bali pada umumnya, dan bangsa
Indonesia pada lainnya. Biarpun seperti itu desa ini telah lama menjadi
perhatian orang luar, terutama dalam penyebaran agama Hindu disana, yang
mayoritas di anaut oleh masyarakat Bali. Persentuhan desa Trunyan dengan budaya
luar, sebenarnya sudah mulai sejak lama. Namun persentuhan tersebut sebatas
pada Hindu Bali saja. Setelah itu, persentuhan yang dibawa dari masa kolonialisasi
baik budaya Asia, seperti Jawa, India dan Cina, ternyata tidak berdampak begitu
berarti pada perkembangan kepercayaan. Mereka dengan teguh tetap berusaha
melestarikan kebudayaan yang dimiliki. Apalagi dewasa ini, Bali secara
keseluruhan telah dikenal di mata Internasional menjadi salah satu tujuan
wisata. Selain karena keindahan alam laiknya sentuhan agung Tuhan surgawi, juga
karena keteguhan penduduknya akan tradisi keagamaan, yang lebih dikenal sebagai
“Pulau Dewata”. Dukungan dari pemerintahan untuk pariwisata seperti ini yang
menyebabkan tradisi budaya lokal terus digalakan perkembangannya. Dewasa ini,
pertumbuhan pembangunan modern sudah sangat nampak di daerah Trunyan.
Pembangunan hotel, villa, restoran serta tempat peristirahatan lainnya berkembang
pesat. Disamping itu, pembangunan kuil sesembahan, tempat pemujaan juga banyak
dibangun. Meski sepertinya ada sangat besar pergeseran nilai yang terjadi
seperti pergeseran kehidupan pertanian ke sektor pariwisata, namun pelestarian
kebudayaan dan kepercayaan masih terus akan bertahan dan berkembang. .
Selain itu antara etnis Bali dan Etnis Sasak (Islam) juga terjadi
interaksi jual beli di pasar tradisional antara pedagang etnis Sasak misalnya
(pedagang sate, cendol, buah, kain, tukang jarit dan sebagainya) dengan pembeli
masyarakat etnis Bali dan begitu pula sebaliknya. Tidak hanya sebatas pedagang
dan pembeli, interaksi juga terjadi pada sesama pedagang etnis Bali dan Etnis
Sasak. Mereka saling memberikan rekomendasi dagangan teman atau kerabat mereka
kepada pembeli yang ingin membeli kebutuhan sehari-hari. Kerjasama juga terjadi
saat para pedagang etnis Bali dan etnis Sasak saling membantu menaikkan dan
membawa barang-barang dagangan saat berurusan dengan pihak berwajib (tibun).